Bahasa
Sunda memiliki padanan
yang tepat
untuk kata Inggeris picnic. Ungkapan
yang bermakna makan bersama-sama di udara terbuka itu dalam bahasa Sunda
disebut botram. Aku biasa
melakukannya dengan Gepeng, Maman dan teman-teman lainnya di tegalan atau di pinggir hutan sambil menunggu porog atau bubu, perangkap ikan dari bambu yang dipasang di tepian sungai.
Beberapa bulan ke belakang guru kami membawa kami ke Situ Gunung untuk botram merayakan kenaikan kelas. Sekali
dua Abah mengajak kami –Umi, aku dan Fitri—botram
di kebun kelapa yang sedang digarapnya.
Kata itulah yang diucapkan Saepuloh
ketika kami keluar dari musola. Ia mendengar Bapak menyebut “makan besar” maka,
kata Saepuloh, itu berarti kita akan makan siang di udara terbuka. Aku
mengamati meja batu panjang yang terletak di tengah halaman rumput itu dan menduga mengapa ia ada di sana.
Di dapur tengah berlangsung kesibukan.
Bi Isah dan Ibu memanggil anak-anak untuk membantu membawa hasil masakan yang
telah disiapkan untuk makan siang. Aku berjalan ke sana mengikuti Saepuloh dan
berharap anak-anak yang lain segera melupakan kejadian memalukan di musola
tadi.
Saat itulah kulihat seorang lelaki masuk
melalui gerbang besar. Kurasa usianya tidak jauh dari usia Bapak, tapi penampilan mereka jauh
berbeda. Lelaki ini berkulit lebih gelap dan badannya lebih kurus dibanding
Bapak. Wajah dan lengannya tampak mengkilat karena keringat. Otot-otot di
tubuhnya menunjukkan bahwa ia terbiasa melakukan pekerjaan fisik setiap
harinya. Ketika ia melepas topi pandannya yang bundar dan
menggantungkannya pada
paku di dinding dapur, tampaklah
wajahnya yang bertampang keras, kumis melintang lebat, berjanggut lebat. Ia melepaskan tali golok
yang menggantung di pinggangnya dan menggantungkannya dekat topi bundar. Aku langsung menduga dialah yang disebut Mang Amir, suami
Bi Isah. Dari cara Bapak menyebutkan nama itu pertama kali tadi, aku tidak
menyangka bahwa Mang Amir adalah tukang kebun. Suaranya terdengar berat ketika
menyapaku, “Ini Rizki ya?”
Aku mengangguk dan menyalaminya.
Kudengar Ibu menimpali, “Iya, dia baru
datang tadi pagi. Kita akan makan bersama untuk menyambut kedatangannya.”
Aku sempat tertegun. Jadi kesibukan di
dapur ini karena untuk menyambutku? Bukan main. Tersanjung aku dibuatnya.
“Rizki, tolong bawa ini,” Bi Isah menyodorkan sebuah boboko[1]
besar yang tampak berat. Aku menerimanya dan segeralah aroma nasi panas meruap
menggelitik hidung dan turun ke
perut. Di rumahku kami biasa menempatkan nasi di boboko yang jauh lebih kecil, berisi nasi untuk empat orang, dengan
porsi yang masing-masing kecil—kecuali milik Abah. Di sini, dengan jumlah orang yang
lebih dari tiga kali lipat, memang dibutuhkan nasi yang jauh lebih banyak.
Kubawa boboko itu ke meja batu di tengah halaman rumput. Mengasyikkan
sekali makan di meja istimewa seperti itu, pikirku. Tapi satu bangku panjang
paling hanya memuat empat atau lima orang dan hanya ada dua bangku di sana.
Jumlah orang seluruhnya sekarang 13; tak
akan mungkin dua bangku itu memuat semuanya.
“Rizki, bukan di sana,” suara Ibu
membuatku menoleh. Ia
menunjuk gerbang besar di sebelah kanan. “Di sana.”
Oh ya, tentu saja. Kulihat ke gerbang besi itu, tampak tujuh kurcaci
tengah beriringan membawa bermacam perlengkapan. Idik paling depan memikul gulungan tikar pandan, disusul anak-anak lain yang membawa bermacam wadah
berisi makanan. Di belakang mereka Nurul dengan langkah-langkah pendek
kerepotan mengangkut kaleng besar. Kemudian menyusul Bapak membawa tumpukan piring kosong dan terakhir Ibu
dan Bi Isah, keduanya membawa keranjang rotan. Jika barisan itu mengingatkanmu
pada rombongan pengiring pengantin pria yang membawa seserahan untuk mempelai wanita, engkau tidak sendirian.
Setengah berlari aku menyusul mereka
keluar gerbang.
Apa yang kusaksikan di luar gerbang itu
sekali lagi membuatku terpesona. Ini rupanya halaman samping rumah, bersambung
dengan halaman depan—di pojok kanan bisa kulihat pohon lengkeng besar tadi.
Yang membuatku terpana adalah luas halaman samping ini yang hampir setengah
lapangan bola. Permukaan tanahnya ditutupi rumput hijau yang tercukur rapi. Di
batas lapang sebelah timur kulihat banyak tumbuh macam-macam pohon palem dan
pakis. Di sisi yang lain pohon pinus berjejer. Ketika melintasi lapangan rumput
itu dan memandang ke arah utara, aku menyadari inilah posisi paling tepat untuk
menikmati pemandangan Gunung Gede. Subhanallah. Gunung itu berdiri gagah di
sana, tepat di depanku, biru berlekuk-lekuk, seakan aku bisa menjangkaunya
dengan tanganku. Tak pernah aku mendapatkan gunung itu sedemikian indah. Dari
lapangan rumput ini, pemandangan itu tak ubahnya lukisan mooi indiƫ dari Jelekong[2]
yang digantungkan di depanku.
Idik menggelar tikar di bawah pohon
pinus dan segera saja seluruh makanan dan peralatan makan itu tersaji di
atasnya. Aku yang terakhir menurunkan boboko
besar berisi nasi. Ketika kami sudah duduk berkeliling, datang Mang Amir
bergabung. Ia sudah berganti pakaian. Wajahnya masih basah, mungkin dia baru
saja selesai solat.
Sebelum mulai makan Bapak mengucapkan
semacam kata sambutan dengan berkali-kali menyebut namaku. Suasana meriah dan
hangat membuat aku lupa akan kekonyolanku waktu solat Lohor tadi. Perhatianku
tertumpu pada makanan yang tersaji. Hidangan utama adalah empat ekor gurame
goreng yang berukuran besar yang dalam hitungan menit tinggal tersisa
kerangkanya. Sambal kecap, sambal terasi dan sambal tomat hijau dalam cobek berpindah-pindah
tempat. Dua piring kecil berisi tahu segera menjadi kosong. Kaleng besar yang
dibawa Nurul tadi ternyata berisi kerupuk yang juga tandas setelah melalui dua
putaran. Yang menonjol adalah setumpuk lalap segar yang ditempatkan di ayakan bambu.
Seandainya engkau pernah melihat
beberapa macam lalapan mentah di warung makan
Sunda, apa yang kaulihat belum seberapa dibanding apa yang tersaji di atas ayakan di hadapan kami saat itu. Segala
macam pucuk dan daun ada di sana. Seseorang sepertinya baru saja membersihkan
kebun dan menumpukkan apa yang bisa dipotongnya dalam wadah itu. Namun
bertahun-tahun di tengah budaya kuliner demikian membuatku terbiasa dan aku
sangat menikmati kesatnya pucuk jambu mete, manisnya daun lampenas, asamnya pucuk bunut,
pahitnya buah paria. Bahkan suara
yang ditimbulkan ketika menggigit buah leunca
bisa memberikan sensasi yang menghadirkan suasana kampung halaman.
Untuk hampir semua makanan itu terdapat
jenis sambal yang berbeda. Karena semuanya kucoba, tak ayal mulutku kepedasan.
Megap-megap seperti ikan mujair kekurangan air. Sementara tangan kanan masih
belepotan butiran nasi, dengan tangan kiri kusambar gelas berisi air teh dan
kuteguk sampai habis.
Saat itulah aku merasakan sikutan di
pinggangku. Aku menoleh pada Saepuloh yang duduk di sampingku.
“Kenapa?” tanyaku tak mengerti. Matanya
memberi isyarat ke arah tangan kiriku yang masih memegang gelas. Aku masih tak
paham maksudnya. Kemudian kulihat bahwa pada saat itu beberapa pasang mata juga
tengah memperhatikanku. Untuk sejenak aku tidak terima dipandangi seperti
maling tertangkap massa begitu. Namun segera kusadari bahwa banyak hal baru
yang harus kupelajari di rumah ini. Pelajaran apa yang akan kuterima kali ini?
Saepuloh mencondongkan badannya ke
arahku dan berkata pelan, “Kalau makan atau minum gak boleh pakai tangan kiri.”
Karena aku masih bengong alamat belum
puas, Saepuloh menambahkan,
“Kalau kita makan atau minum dengan
tangan kiri, sama dengan kita memberi makan syetan.”
Makan siang pertamaku di rumah ini
ditutup dengan sajian buah pisang dan nangka
yang terasa legit. Itulah isi keranjang rotan yang tadi diboyong Ibu dan Bi
Isah. Aku menikmatinya sambil berusaha
menanamkan apa yang baru disampaikan Saepuloh di ingatanku.
Seusai makan aku kembali menyaksikan
ritual itu: setiap orang kembali ke dalam “benteng” melalui gerbang besi sambil
membawa perlengkapan bekas makan. Tak ada yang kembali dengan melenggang, tak
terkecuali Bapak. Tanpa diberi tahu aku mengerti: di sini, semua harus
memberikan sumbangsih, tak peduli sekecil apa.
Begitu kami selesai menyimpan peralatan
kotor ke dapur, Bapak berkata, “Sekarang kalian bisa lanjutkan acara penyambutannya.”
Anak-anak bersorak; Parlan paling keras
teriakannya.
Aku tercenung. Jadi upacara penyambutan
kedatanganku sejak tadi itu belum selesai?
Ketujuh kurcaci itu beramai-ramai
menarik lenganku kembali ke lapangan rumput. Kami berlarian di sana, saling
berkejaran. Aku tenggelam dalam keriaan itu. Ketika melewati pohon pinus tempat
kami botram tadi, aku baru
memperhatikan bahwa di pohon itu tergantung sebuah plat besi bercat putih,
seukuran uang kertas. Ada tulisan di plat itu. Aku bertanya apa itu.
“Itu nama pohon ini,” Jajang yang
menjawab. “Namanya Pinus merkusii.”
Ia meneruskan dengan suara penuh kebanggan. Ia tahu betul nama seaneh demikian
tak mungkin pernah kudengar sebelumnya.
Aku memeriksa tulisan pada plat nama
pohon itu. Benar, terbaca di sana Pinus
merkusii. “Berarti yang itu juga ya?” aku menunjuk pohon pinus lainnya.
“Bukan,” jawab Jajang. “Yang itu Pinus caribbaea.”
Aku memeriksa plat di pohon sebelahnya.
Luar biasa, bagaimana Jajang bisa menghafal nama-nama sulit seperti itu? Mengetahui
bahwa sebuah tanaman memiliki nama sekeren itu saja sudah memesonaku. Apalagi
mengingat namanya.
“Siapa yang memberi nama pohon-pohon
ini?” tanyaku.
“Mang Amir,” timpal Parlan, diiringi tawa anak-anak lain.
Mengapa Mang Amir harus memilih
nama-nama yang keren tapi susah diingat, pikirku saat itu.
“Hampir semua tanaman di sini diberi
nama,” Jajang berkata lagi. Kini nadanya seakan-akan ide pemberian itu datang
darinya.
“Dan kamu harus menyebut tanaman-tanaman
itu dengan nama-nama tersebut,” tambah Parlan.
Aku mengerling. Kedengarannya seperti
lebih sulit daripada menangkap selusin tonggeret.
Saepuloh menyela, “Kalau setiap hari
membacanya, lama-lama juga hapal.” Hm, anak simpatik ini berusaha mengurangi
kekhawatiranku.
“Nah sekarang kita menuju kebun!” Idik
memberi komando.
Segera kami berbaris, saling memegang
pinggang anak yang berada di depan masing-masing. Aku paling belakang. Idik
mulai berjalan dan kami meliuk-liuk sambil bernyanyi Oray-orayan[3].
Dari barisan pohon pinus itu kami menyusuri pinggiran lapang yang setelah
berada di sana baru kuketahui ternyata berbatasan dengan lembah kecil.
Lerengnya dipenuhi beragam pohon dan terdapat rumpun bambu di ujungnya. Waktu
pertama datang tadi aku sempat kehilangan arah mata angin. Setelah mengetahui
arah waktu solat, kini aku tahu rumah utama itu menghadap ke selatan. Lapangan
rumput luas ini ada di sebelah timur. Lembah bambu yang kumaksud itu ada di
ujung timur lapangan. Semula lembah itu tidak begitu kuperhatikan karena
tertutupi aneka macam pohon palem dan pakis. Ada jalan setapak di sana,
meliuk-liuk di antara pepohonan.
Idik membawa kami ke belakang rumah.
Bagian ini yang tadi sempat kulihat dari jendela kamar. Aku melihat banyak
bedengan tanah dengan beraneka macam sayuran. Cabe rawit, tomat, seledri,
bawang daun, nyaris semua yang biasa tersedia di dapur ada di sini. Saepuloh menjelaskan bahwa kebun itu mereka kelola
bersama-sama, dibimbing Mang Amir. Itu kabar baik bagiku yang terbiasa membantu
Abah dan Umi menanam dan memelihara tanaman di kebun samping rumah.
Di bagian utara bedengan itu berdiri
pohon yang lebih besar: ada salam, belimbing sayur, jeruk nipis, melinjo, dan
lain-lain. Lebih ke utara, yang tampaknya merupakan batas lahan besar ini, berdiri beberapa jenis pohon buah-buahan. Terletak di sebelah bedeng paling barat rupanya ada kandang. Lima
ekor domba sedang asyik memamah rumput. Bau kotorannya segera tercium begitu
kami lewat. Di samping kandang itu ada kandang lainnya. Kandang yang satu ini
kosong, namun mudah kutebak bahwa itu adalah kandang ayam. Mungkin penghuninya
memang dibiarkan berkeliaran kalau siang begini. Di sebelah kandang terdapat
sebuah kolam ikan yang tidak terlalu besar, mirip kolam di rumah Pak Dadun
tetanggaku. Di sekelilingnya tumbuh sente, sejenis talas berdaun besar.
Melewati kolam, aku melihat sebidang
kebun lagi, berbatasan langsung dengan bangunan rumah. Semua tanaman di sana
memiliki papan nama seperti yang kulihat di pohon pinus tadi. Namun di sini
papan nama itu diselipkan di sebilah bambu yang ditancapkan di dekat
masing-masing tanaman.
“Nah, kalau ini apotek hidup,” Parlan
berkata.
Kuperhatikan tanaman-tanaman yang ada di
sana. Beberapa tidaklah asing, karena merupakan tanaman yang biasa ditemui dan
dibuang dari kebun Abah. Namun tampaknya keanehan lain masih harus kusaksikan
di sini. Gulma yang biasanya dibasmi, di sini bukan hanya tidak dibuang, malah
dipelihara. Diberi nama pula.
Aku sempat memperhatikan, rumput jombang
yang bunga kuningnya tadi dibawa-bawa Nurul punya nama aneh di sini: Taraxacum
officinale. Di bawahnya di dalam kurung ditulis: Dandelion. Aku tersenyum sendiri membayangkan menyebut
rumput-rumput itu dengan nama-nama yang terdengar seperti mantra sihir. Kupetik setangkai
bunga dandelion yang sudah memutih (Engkau dengarkah? Aku menyebut rumput
jombang itu dengan nama baru!) dan ketika kutiup, biji-biji panjangnya yang
serupa rangka payung mini berhamburan, berterbangan, berputar-putar dan pelahan jatuh di tanah. Sejenak aku membayangkan diriku
seperti biji bunga itu: kecil, ringan, ditiup angin kencang dari Gegerbitung,
melayang-layang di atas Kota Sukabumi, bergerak ke utara dan hinggap di
Selabintana. Kelak mungkin aku akan tumbuh subur dan mengeluarkan bunga-bunga
kuning yang lucu…
“Parlan, tunjukkan pada Rizki tanaman
istimewa kita,” seseorang berkata. Tanpa melihat, aku tahu itu suara Sigit.
Logatnya mudah kukenali.
“Ya, memang, untuk itulah kita ke sini.
Ini penutup
acara penyambutan kita, kan sebentar lagi Ashar.” Parlan
menghampiriku. Dengan gaya yang dilebih-lebihkan
dia bertanya, “Pernahkah
kamu merasakan daun yang rasanya seperti
gula?”
Aku mencium gelagat yang mencurigakan.
Firasatku mengatakan harus hati-hati dengan anak belagu ini. “Emang ada?”
“Haha…belum tahu dia! Sini kutunjukkan.”
Ia berjongkok di depan sebuah tanaman
pendek berdaun kecil warna hijau muda dan berbulu halus. Di beberapa pucuknya
terdapat bunga yang belum mekar, mirip bunga bandotan. Dipetiknya beberapa
helai daun dan diserahkannya padaku.
“Coba gigit.”
Ragu-ragu kuterima daun itu. Tak sudi aku
menjadi bulan-bulanan anak ini. Aku berjongkok untuk memeriksa papan
nama yang tertancap di samping tanaman itu. Tertulis di sana: Stevia rebaudiana. Khawatir Parlan sedang berusaha memperdayaku, dengan sangat hati-hati kugigit ujung daun
yang paling kecil. Tujuh kurcaci itu mengawasiku, menanti dengan harap cemas
seakan aku adalah telur burung langka peliharaan mereka yang diperoleh melalui
petualangan berat dan akan segera menetas.
Begitu ujung daun itu tergigit,
mengalirlah rasa manis di ujung lidah. Aku
takjub. Tak pernah sebelumnya kutahu ada tanaman berdaun semanis ini. Benar-benar tanaman istimewa.
Kalau tidak merasakan sendiri sulit dipercaya dari atas tanah bisa
keluar tanaman dengan daun berasa manis melebihi gula. Tanpa ragu kukunyah
seluruh daun yang diberikan Parlan.
“Tanaman ini berasal dari Amerika
Selatan. Dari daun itulah dibuat pemanis untuk obat,” Parlan bicara dengan
bangganya. “Tapi…” ia memanjangkan bunyi “i”-nya, “itu belum seberapa dibanding
tanaman yang satu ini. Yang ini jauh lebih manis.” Ia menunjuk tanaman lainnya.
Tanaman yang ia maksud kali ini juga berdaun kecil dan lancip, lebih rimbun dan
berwarna hijau tua mengkilap.
Sekali lagi aku berjongkok membaca nama
tanaman itu: Andrographis paniculata.
Namanya lebih keren dan penampilannya lebih segar dan menarik. Parlan memetik
sehelai daun yang paling besar dan memberikannya padaku. Tanpa ragu langsung
kumasukkan ke mulut dan kukunyah.
Seketika itu juga lidahku didera rasa pahit yang tak
alang-kepalang. Getir
menjerat kuat
membuatku ingin muntah.
Secara refleks aku
memuntahkannya keras-keras. Tapi sial, rasa
pahit itu tetap menempel erat di
lidahku. Saat itu meledaklah tawa para kurcaci. Mereka terbahak-bahak dan
berlarian berjingkrak-jingkrak menuju rumah. Tinggallah aku sendiri, memaki-maki sambil terus
berusaha membersihkan mulutku dari sisa-sisa daun durjana itu. Ini rupanya yang
dimaksud Parlan dengan “penutup acara penyambutan” untukku. Terlalu!
Baru belakangan kuketahui, Andrographis paniculata adalah nama
Latin untuk ki pait alias sambiloto
yang memang terkenal karena kepahitannya. Kupikir-pikir, alangkah
bijaknya seandainya mereka menambahkan nama lokal itu di papan nama tanaman. Karena nama asing
yang panjang dan terdengar keren itu sesungguhnya
sangat menyesatkan!
∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar