5. Upacara Penyambutan Jilid Dua


Bahasa Sunda memiliki padanan yang tepat untuk kata Inggeris picnic. Ungkapan yang bermakna makan bersama-sama di udara terbuka itu dalam bahasa Sunda disebut botram. Aku biasa melakukannya dengan Gepeng, Maman dan teman-teman lainnya di tegalan atau  di pinggir hutan sambil menunggu porog atau bubu, perangkap ikan dari bambu yang dipasang di tepian sungai. Beberapa bulan ke belakang guru kami membawa kami ke Situ Gunung untuk botram merayakan kenaikan kelas. Sekali dua Abah mengajak kami –Umi, aku dan Fitri—botram di kebun kelapa yang sedang digarapnya.
Kata itulah yang diucapkan Saepuloh ketika kami keluar dari musola. Ia mendengar Bapak menyebut “makan besar” maka, kata Saepuloh, itu berarti kita akan makan siang di udara terbuka. Aku mengamati meja batu panjang yang terletak di tengah halaman rumput itu dan menduga mengapa ia ada di sana.
Di dapur tengah berlangsung kesibukan. Bi Isah dan Ibu memanggil anak-anak untuk membantu membawa hasil masakan yang telah disiapkan untuk makan siang. Aku berjalan ke sana mengikuti Saepuloh dan berharap anak-anak yang lain segera melupakan kejadian memalukan di musola tadi.
Saat itulah kulihat seorang lelaki masuk melalui gerbang besar. Kurasa usianya tidak jauh dari usia Bapak, tapi penampilan mereka jauh berbeda. Lelaki ini berkulit lebih gelap dan badannya lebih kurus dibanding Bapak. Wajah dan lengannya tampak mengkilat karena keringat. Otot-otot di tubuhnya menunjukkan bahwa ia terbiasa melakukan pekerjaan fisik setiap harinya. Ketika ia melepas topi pandannya yang bundar dan menggantungkannya pada paku di dinding dapur, tampaklah wajahnya yang bertampang keras, kumis melintang lebat, berjanggut lebat. Ia melepaskan tali golok yang menggantung di pinggangnya dan menggantungkannya dekat topi bundar. Aku langsung menduga dialah yang disebut Mang Amir, suami Bi Isah. Dari cara Bapak menyebutkan nama itu pertama kali tadi, aku tidak menyangka bahwa Mang Amir adalah tukang kebun. Suaranya terdengar berat ketika menyapaku, “Ini Rizki ya?”
Aku mengangguk dan menyalaminya.
Kudengar Ibu menimpali, “Iya, dia baru datang tadi pagi. Kita akan makan bersama untuk menyambut kedatangannya.”
Aku sempat tertegun. Jadi kesibukan di dapur ini karena untuk menyambutku? Bukan main. Tersanjung aku dibuatnya.
“Rizki, tolong bawa ini,”  Bi Isah menyodorkan sebuah boboko[1] besar yang tampak berat. Aku menerimanya dan segeralah aroma nasi panas meruap menggelitik hidung dan turun ke perut. Di rumahku kami biasa menempatkan nasi di boboko yang jauh lebih kecil, berisi nasi untuk empat orang, dengan porsi yang masing-masing kecil—kecuali milik Abah. Di sini, dengan jumlah orang yang lebih dari tiga kali lipat, memang dibutuhkan nasi yang jauh lebih banyak.
Kubawa boboko itu ke meja batu di tengah halaman rumput. Mengasyikkan sekali makan di meja istimewa seperti itu, pikirku. Tapi satu bangku panjang paling hanya memuat empat atau lima orang dan hanya ada dua bangku di sana. Jumlah orang seluruhnya sekarang 13; tak akan mungkin dua bangku itu memuat semuanya.
“Rizki, bukan di sana,” suara Ibu membuatku menoleh. Ia menunjuk gerbang besar di sebelah kanan. “Di sana.”
Oh ya, tentu saja. Kulihat ke gerbang besi itu, tampak tujuh kurcaci tengah beriringan membawa bermacam perlengkapan. Idik paling depan memikul gulungan tikar pandan, disusul anak-anak lain yang membawa bermacam wadah berisi makanan. Di belakang mereka Nurul dengan langkah-langkah pendek kerepotan mengangkut kaleng besar. Kemudian menyusul Bapak membawa tumpukan piring kosong dan terakhir Ibu dan Bi Isah, keduanya membawa keranjang rotan. Jika barisan itu mengingatkanmu pada rombongan pengiring pengantin pria yang membawa seserahan untuk mempelai wanita, engkau tidak sendirian.
Setengah berlari aku menyusul mereka keluar gerbang.
Apa yang kusaksikan di luar gerbang itu sekali lagi membuatku terpesona. Ini rupanya halaman samping rumah, bersambung dengan halaman depan—di pojok kanan bisa kulihat pohon lengkeng besar tadi. Yang membuatku terpana adalah luas halaman samping ini yang hampir setengah lapangan bola. Permukaan tanahnya ditutupi rumput hijau yang tercukur rapi. Di batas lapang sebelah timur kulihat banyak tumbuh macam-macam pohon palem dan pakis. Di sisi yang lain pohon pinus berjejer. Ketika melintasi lapangan rumput itu dan memandang ke arah utara, aku menyadari inilah posisi paling tepat untuk menikmati pemandangan Gunung Gede. Subhanallah. Gunung itu berdiri gagah di sana, tepat di depanku, biru berlekuk-lekuk, seakan aku bisa menjangkaunya dengan tanganku. Tak pernah aku mendapatkan gunung itu sedemikian indah. Dari lapangan rumput ini, pemandangan itu tak ubahnya lukisan mooi indiĆ« dari Jelekong[2] yang digantungkan di depanku.
Idik menggelar tikar di bawah pohon pinus dan segera saja seluruh makanan dan peralatan makan itu tersaji di atasnya. Aku yang terakhir menurunkan boboko besar berisi nasi. Ketika kami sudah duduk berkeliling, datang Mang Amir bergabung. Ia sudah berganti pakaian. Wajahnya masih basah, mungkin dia baru saja selesai solat.
Sebelum mulai makan Bapak mengucapkan semacam kata sambutan dengan berkali-kali menyebut namaku. Suasana meriah dan hangat membuat aku lupa akan kekonyolanku waktu solat Lohor tadi. Perhatianku tertumpu pada makanan yang tersaji. Hidangan utama adalah empat ekor gurame goreng yang berukuran besar yang dalam hitungan menit tinggal tersisa kerangkanya. Sambal kecap, sambal terasi dan sambal tomat hijau dalam cobek berpindah-pindah tempat. Dua piring kecil berisi tahu segera menjadi kosong. Kaleng besar yang dibawa Nurul tadi ternyata berisi kerupuk yang juga tandas setelah melalui dua putaran. Yang menonjol adalah setumpuk lalap segar yang ditempatkan di ayakan bambu.
Seandainya engkau pernah melihat beberapa macam lalapan mentah di warung makan Sunda, apa yang kaulihat belum seberapa dibanding apa yang tersaji di atas ayakan di hadapan kami saat itu. Segala macam pucuk dan daun ada di sana. Seseorang sepertinya baru saja membersihkan kebun dan menumpukkan apa yang bisa dipotongnya dalam wadah itu. Namun bertahun-tahun di tengah budaya kuliner demikian membuatku terbiasa dan aku sangat menikmati kesatnya pucuk jambu mete, manisnya daun lampenas, asamnya pucuk bunut, pahitnya buah paria. Bahkan suara yang ditimbulkan ketika menggigit buah leunca bisa memberikan sensasi yang menghadirkan suasana kampung halaman.
Untuk hampir semua makanan itu terdapat jenis sambal yang berbeda. Karena semuanya kucoba, tak ayal mulutku kepedasan. Megap-megap seperti ikan mujair kekurangan air. Sementara tangan kanan masih belepotan butiran nasi, dengan tangan kiri kusambar gelas berisi air teh dan kuteguk sampai habis.
Saat itulah aku merasakan sikutan di pinggangku. Aku menoleh pada Saepuloh yang duduk di sampingku.
“Kenapa?” tanyaku tak mengerti. Matanya memberi isyarat ke arah tangan kiriku yang masih memegang gelas. Aku masih tak paham maksudnya. Kemudian kulihat bahwa pada saat itu beberapa pasang mata juga tengah memperhatikanku. Untuk sejenak aku tidak terima dipandangi seperti maling tertangkap massa begitu. Namun segera kusadari bahwa banyak hal baru yang harus kupelajari di rumah ini. Pelajaran apa yang akan kuterima kali ini?
Saepuloh mencondongkan badannya ke arahku dan berkata pelan, “Kalau makan atau minum gak boleh pakai tangan kiri.”
Karena aku masih bengong alamat belum puas, Saepuloh menambahkan,
“Kalau kita makan atau minum dengan tangan kiri, sama dengan kita memberi makan syetan.”
Makan siang pertamaku di rumah ini ditutup dengan sajian buah pisang dan nangka yang terasa legit. Itulah isi keranjang rotan yang tadi diboyong Ibu dan Bi Isah. Aku menikmatinya sambil berusaha menanamkan apa yang baru disampaikan Saepuloh di ingatanku.
Seusai makan aku kembali menyaksikan ritual itu: setiap orang kembali ke dalam “benteng” melalui gerbang besi sambil membawa perlengkapan bekas makan. Tak ada yang kembali dengan melenggang, tak terkecuali Bapak. Tanpa diberi tahu aku mengerti: di sini, semua harus memberikan sumbangsih, tak peduli sekecil apa.
Begitu kami selesai menyimpan peralatan kotor ke dapur, Bapak berkata, “Sekarang kalian bisa lanjutkan acara penyambutannya.”
Anak-anak bersorak; Parlan paling keras teriakannya.
Aku tercenung. Jadi upacara penyambutan kedatanganku sejak tadi itu belum selesai?
Ketujuh kurcaci itu beramai-ramai menarik lenganku kembali ke lapangan rumput. Kami berlarian di sana, saling berkejaran. Aku tenggelam dalam keriaan itu. Ketika melewati pohon pinus tempat kami botram tadi, aku baru memperhatikan bahwa di pohon itu tergantung sebuah plat besi bercat putih, seukuran uang kertas. Ada tulisan di plat itu. Aku bertanya apa itu.
“Itu nama pohon ini,” Jajang yang menjawab. “Namanya Pinus merkusii.” Ia meneruskan dengan suara penuh kebanggan. Ia tahu betul nama seaneh demikian tak mungkin pernah kudengar sebelumnya.
Aku memeriksa tulisan pada plat nama pohon itu. Benar, terbaca di sana Pinus merkusii. “Berarti yang itu juga ya?” aku menunjuk pohon pinus lainnya.
 “Bukan,” jawab Jajang. “Yang itu Pinus caribbaea.”
Aku memeriksa plat di pohon sebelahnya. Luar biasa, bagaimana Jajang bisa menghafal nama-nama sulit seperti itu? Mengetahui bahwa sebuah tanaman memiliki nama sekeren itu saja sudah memesonaku. Apalagi mengingat namanya.
“Siapa yang memberi nama pohon-pohon ini?” tanyaku.
“Mang Amir,” timpal Parlan, diiringi tawa anak-anak lain.
Mengapa Mang Amir harus memilih nama-nama yang keren tapi susah diingat, pikirku saat itu.
“Hampir semua tanaman di sini diberi nama,” Jajang berkata lagi. Kini nadanya seakan-akan ide pemberian itu datang darinya.
“Dan kamu harus menyebut tanaman-tanaman itu dengan nama-nama tersebut,” tambah Parlan.
Aku mengerling. Kedengarannya seperti lebih sulit daripada menangkap selusin tonggeret.
Saepuloh menyela, “Kalau setiap hari membacanya, lama-lama juga hapal.” Hm, anak simpatik ini berusaha mengurangi kekhawatiranku.
“Nah sekarang kita menuju kebun!” Idik memberi komando.
Segera kami berbaris, saling memegang pinggang anak yang berada di depan masing-masing. Aku paling belakang. Idik mulai berjalan dan kami meliuk-liuk sambil bernyanyi Oray-orayan[3]. Dari barisan pohon pinus itu kami menyusuri pinggiran lapang yang setelah berada di sana baru kuketahui ternyata berbatasan dengan lembah kecil. Lerengnya dipenuhi beragam pohon dan terdapat rumpun bambu di ujungnya. Waktu pertama datang tadi aku sempat kehilangan arah mata angin. Setelah mengetahui arah waktu solat, kini aku tahu rumah utama itu menghadap ke selatan. Lapangan rumput luas ini ada di sebelah timur. Lembah bambu yang kumaksud itu ada di ujung timur lapangan. Semula lembah itu tidak begitu kuperhatikan karena tertutupi aneka macam pohon palem dan pakis. Ada jalan setapak di sana, meliuk-liuk di antara pepohonan.
Idik membawa kami ke belakang rumah. Bagian ini yang tadi sempat kulihat dari jendela kamar. Aku melihat banyak bedengan tanah dengan beraneka macam sayuran. Cabe rawit, tomat, seledri, bawang daun, nyaris semua yang biasa tersedia di dapur ada di sini. Saepuloh menjelaskan bahwa kebun itu mereka kelola bersama-sama, dibimbing Mang Amir. Itu kabar baik bagiku yang terbiasa membantu Abah dan Umi menanam dan memelihara tanaman di kebun samping rumah.
Di bagian utara bedengan itu berdiri pohon yang lebih besar: ada salam, belimbing sayur, jeruk nipis, melinjo, dan lain-lain. Lebih ke utara, yang tampaknya merupakan batas lahan besar ini, berdiri beberapa jenis pohon buah-buahan. Terletak di sebelah bedeng paling barat rupanya ada kandang. Lima ekor domba sedang asyik memamah rumput. Bau kotorannya segera tercium begitu kami lewat. Di samping kandang itu ada kandang lainnya. Kandang yang satu ini kosong, namun mudah kutebak bahwa itu adalah kandang ayam. Mungkin penghuninya memang dibiarkan berkeliaran kalau siang begini. Di sebelah kandang terdapat sebuah kolam ikan yang tidak terlalu besar, mirip kolam di rumah Pak Dadun tetanggaku. Di sekelilingnya tumbuh sente, sejenis talas berdaun besar.
Melewati kolam, aku melihat sebidang kebun lagi, berbatasan langsung dengan bangunan rumah. Semua tanaman di sana memiliki papan nama seperti yang kulihat di pohon pinus tadi. Namun di sini papan nama itu diselipkan di sebilah bambu yang ditancapkan di dekat masing-masing tanaman.
“Nah, kalau ini apotek hidup,” Parlan berkata.
Kuperhatikan tanaman-tanaman yang ada di sana. Beberapa tidaklah asing, karena merupakan tanaman yang biasa ditemui dan dibuang dari kebun Abah. Namun tampaknya keanehan lain masih harus kusaksikan di sini. Gulma yang biasanya dibasmi, di sini bukan hanya tidak dibuang, malah dipelihara. Diberi nama pula.
Aku sempat memperhatikan, rumput jombang yang bunga kuningnya tadi dibawa-bawa Nurul punya nama aneh di sini: Taraxacum officinale. Di bawahnya di dalam kurung ditulis: Dandelion. Aku tersenyum sendiri membayangkan menyebut rumput-rumput itu dengan nama-nama yang terdengar seperti mantra sihir. Kupetik setangkai bunga dandelion yang sudah memutih (Engkau dengarkah? Aku menyebut rumput jombang itu dengan nama baru!) dan ketika kutiup, biji-biji panjangnya yang serupa rangka payung mini berhamburan, berterbangan, berputar-putar dan pelahan jatuh di tanah. Sejenak aku membayangkan diriku seperti biji bunga itu: kecil, ringan, ditiup angin kencang dari Gegerbitung, melayang-layang di atas Kota Sukabumi, bergerak ke utara dan hinggap di Selabintana. Kelak mungkin aku akan tumbuh subur dan mengeluarkan bunga-bunga kuning yang lucu…
“Parlan, tunjukkan pada Rizki tanaman istimewa kita,” seseorang berkata. Tanpa melihat, aku tahu itu suara Sigit. Logatnya mudah kukenali.
“Ya, memang, untuk itulah kita ke sini. Ini penutup acara penyambutan kita, kan sebentar lagi Ashar.” Parlan menghampiriku. Dengan gaya yang dilebih-lebihkan dia bertanya, “Pernahkah kamu merasakan daun yang rasanya seperti gula?”
Aku mencium gelagat yang mencurigakan. Firasatku mengatakan harus hati-hati dengan anak belagu ini. “Emang ada?”
“Haha…belum tahu dia! Sini kutunjukkan.”
Ia berjongkok di depan sebuah tanaman pendek berdaun kecil warna hijau muda dan berbulu halus. Di beberapa pucuknya terdapat bunga yang belum mekar, mirip bunga bandotan. Dipetiknya beberapa helai daun dan diserahkannya padaku.
“Coba gigit.”
Ragu-ragu kuterima daun itu. Tak sudi aku menjadi bulan-bulanan anak ini. Aku berjongkok untuk memeriksa papan nama yang tertancap di samping tanaman itu. Tertulis di sana: Stevia rebaudiana. Khawatir Parlan sedang berusaha memperdayaku, dengan sangat hati-hati kugigit ujung daun yang paling kecil. Tujuh kurcaci itu mengawasiku, menanti dengan harap cemas seakan aku adalah telur burung langka peliharaan mereka yang diperoleh melalui petualangan berat dan akan segera menetas.
Begitu ujung daun itu tergigit, mengalirlah rasa manis di ujung lidah. Aku takjub. Tak pernah sebelumnya kutahu ada tanaman berdaun semanis ini. Benar-benar tanaman istimewa. Kalau tidak merasakan sendiri sulit dipercaya dari atas tanah bisa keluar tanaman dengan daun berasa manis melebihi gula. Tanpa ragu kukunyah seluruh daun yang diberikan Parlan.
“Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan. Dari daun itulah dibuat pemanis untuk obat,” Parlan bicara dengan bangganya. “Tapi…” ia memanjangkan bunyi “i”-nya, “itu belum seberapa dibanding tanaman yang satu ini. Yang ini jauh lebih manis.” Ia menunjuk tanaman lainnya. Tanaman yang ia maksud kali ini juga berdaun kecil dan lancip, lebih rimbun dan berwarna hijau tua mengkilap.
Sekali lagi aku berjongkok membaca nama tanaman itu: Andrographis paniculata. Namanya lebih keren dan penampilannya lebih segar dan menarik. Parlan memetik sehelai daun yang paling besar dan memberikannya padaku. Tanpa ragu langsung kumasukkan ke mulut dan kukunyah.
Seketika itu juga lidahku didera rasa pahit yang tak alang-kepalang. Getir menjerat kuat membuatku ingin muntah. Secara refleks aku memuntahkannya keras-keras. Tapi sial, rasa pahit itu tetap menempel erat di lidahku. Saat itu meledaklah tawa para kurcaci. Mereka terbahak-bahak dan berlarian berjingkrak-jingkrak menuju rumah. Tinggallah aku sendiri, memaki-maki sambil terus berusaha membersihkan mulutku dari sisa-sisa daun durjana itu. Ini rupanya yang dimaksud Parlan dengan “penutup acara penyambutan” untukku. Terlalu!
Baru belakangan kuketahui, Andrographis paniculata adalah nama Latin untuk ki pait alias sambiloto yang memang terkenal karena kepahitannya. Kupikir-pikir, alangkah bijaknya seandainya mereka menambahkan nama lokal itu di papan nama tanaman. Karena nama asing yang panjang dan terdengar keren itu sesungguhnya sangat menyesatkan!

∞∞




[1] Bakul
[2] daerah di Bandung yang dikenal sebagai sentra lukisan gaya mooi indiƫ (Indonesia indah) berupa pemandangan indah pedesaan
[3] Ular-ularan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool