4. New Kid on the Block


Mereka berbaris seperti satu regu Pramuka hendak upacara. Hanya saja barisan mereka tidak bisa disebut lurus dan tak ada yang bisa menahan gerak lebih dari lima detik. Paling kiri adalah Nurul yang wajahnya menunduk tapi bola matanya tak henti memandangku sambil memperlihatkan gigi ompong satunya. Kedua tangannya menjepit bagian pinggir rok, tubuhnya tak bisa diam, bergoyang-goyang seperti anak sekolah tengah menunggu giliran menari pada acara kenaikan kelas. Di sebelahnya tujuh anak lelaki yang usianya tidak jauh berbeda denganku berdiri dengan bermacam gaya. Kalau Putri Salju lebih kecil dari para kurcaci dan ketujuh kurcaci itu berseragam putih merah, mungkin seperti inilah penampilan mereka.
“Ini Nurul,” Bapak menunjuk anak gadis lucu itu. Aku sudah tahu, tapi ini adalah upacara resmi dan Bapak, Sang Inspektur Upacara, sedang memeriksa barisan dan memperkenalkan setiap peserta kepada anggota baru, aku, yang mengekor di belakangnya dengan kikuk.
Nurul mengulurkan tangan dengan malu-malu dan senyum lebar, lagi-lagi memamerkan gigi ompong satunya. Aku menyambut uluran tangan dan senyumannya. Percayakah engkau bahwa untuk setiap orang ada orang lain yang diciptakan dengan wajah yang mirip satu sama lain? “Kembaran”-mu itu tidak mesti adik atau kakakmu; ia bisa jadi seseorang yang hidup di suatu tempat di dunia lain dan kalian berdua tak saling mengenal. Suatu hari takdir mungkin mempertemukan kalian berdua, namun kasusnya tidaklah selalu demikian. “Kembaran” Fitri ternyata kutemukan tepat seminggu setelah aku kehilangan dia.
Ketika Bapak mengingatkan bahwa masing-masing harus menyampaikan perkenalan dengan menceritakan dirinya, gadis cilik itu berkata terpatah-patah. “Nama saya Nurul Jannah. Kata Ibu, saya anak tercantik di sini.” Bunyi “r”-nya belum lagi jelas. Perkenalan pertama diiringi suara cekikikan dari anak-anak lain.
Bapak melangkah mendekati anak kedua yang kelihatan seperti tidak sabar untuk bicara. Inilah yang pertama dari tujuh kurcaci.
“Saya Jajang Nurjaman, kelas empat. Dulu saya tinggal di Bandung. Ayah saya dulu banyak kenal artis terkenal.”
Aku melirik Bapak; ia tersenyum mengangguk. Apakah ia anak yatim piatu juga? Mengapa anak seorang yang kenal banyak artis terkenal ada di antara kurcaci ini? Namun sebagai anak baru, aku cukup tahu diri untuk tidak banyak tanya. Lagipula aku belum begitu mafhum dengan aturan main di sini. Jadi aku lebih banyak mendengarkan.
“Ini Saepuloh,” Bapak menunjuk kurcaci kedua. Rupa anak ini sangat memikat. Ia tidak tampan seperti tampang-tampang gedongan yang seminggu kemarin kulihat di majalah “Ananda” milik anak Haji Idris. Kulitnya agak gelap, rambutnya sedikit bergelombang. Alisnya tebal bak sepasang ulat hitam, tatapan matanya hangat seakan dapat dengan mudah melelehkan hati setiap orang. Aku berusaha mencari hal istimewa yang membuatnya tampak menyenangkan, tapi tidak ketemu.
Saepul.” bisiknya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. Ah tidak, ia tidak sedang tersenyum. Wajahnya memang selalu kelihatan seakan sedang tersenyum dan rupanya itulah yang membuatnya terlihat menyenangkan. Melihat senyumnya yang hangat, kontan aku menyukainya. Ia meneruskan, “Saya kelas empat. Keluarga saya berasal dari Cianjur. Ayah dan Ibu sudah tidak ada, sekarang Bapak, Ibu, Mamang dan Bibi menjadi orang tua saya.”
Bapak tersenyum lebar sambil mengusap-usap kepala Saepuloh. Tampak sekali ia bangga dan terharu mendengar kata-kata anak simpatik itu. Sudah barang tentu, aku yang baru sekali mendengar caranya bicara saja sudah terkesan.
Berdiri di sebelah Saepuloh adalah seorang anak bertubuh kurus dan pendek. Tingginya hanya sedikit di atas Nurul. Berbeda dengan anak lain, dia mengenakan jaket. Aneh sebenarnya, karena siang itu matahari bersinar cerah dan meski kami berada di daerah Selabintana yang dikenal dengan suhunya yang rendah, udara siang itu tidaklah dingin. Hal lain yang kutangkap tentang anak ini adalah rambutnya yang lurus dan tidak rapi, seperti tokoh lelaki bertubuh kurus bersuara menyedihkan berteman seekor anjing penakut dalam film kartun yang kutonton di rumah seorang tetangga. Shaggy namanya, kalau aku tak salah ingat.
Ia mengulurkan tangan dengan tidak bersemangat. Sampai tanganku menggenggamnya, ia tidak juga menyebut nama. Salah seorang kurcaci berdehem sambil menahan tawa. Bapak menegur si pendehem dengan halus dan sambil mengelus kepala si kurus, ia menyuruhnya memperkenalkan diri.
Akhirnya anak itu menyebutkan namanya dengan enggan, “Hasan.”
Mendengar cara ia mengucapkan namanya seperti menyebut nama orang lain, aku jatuh simpati. Barangkali begitu pulalah teman-teman dan guruku melihatku ketika kusebutkan namaku di hari pertama masuk SD dulu. Hasan melanjutkan, “Kelas tiga.” Dan semata itulah yang dia ucapkan. Rupanya kurcaci yang satu ini memang tidak banyak bicara.
“Hasan baru dua bulan bergabung di sini,” Bapak menambahkan.
Jadi itu sebabnya ia begitu hemat kata.
Bapak menunjuk kurcaci keempat. Tubuhnya paling subur di antara semua kurcaci itu. Ia mengingatkanku kepada bola bekel yang direndam dalam minyak tanah. Disandingkan dengan Hasan, mereka berdua seperti membentuk angka 10. Aku membayangkan, jika suatu hari nanti harus ikut perlombaan tarik tambang, aku harus berada dalam kelompok anak satu ini. Sebelum Bapak sempat memperkenalkan, ia sudah mendahului, “Idik Sodikin. Kelas empat, kiper sepakbola di sekolah.” Pasti cocok, pikirku. Tak akan ada lagi celah untuk memasukkan bola kalau ia berdiri di gawang.
“Kalau aku pemain bulutangkis,” kata kurcaci di sebelah Idik yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sigit. Berhadapan dengan kurcaci kelima aku langsung mendengar logat aneh. 
Logatnya yang asing untuk anak-anak yang berasal dari sekitar sini memancingku untuk bertanya, “Asalmu dari mana?”
“Wonosobo.”                                                
“Kamu tahu itu di mana?” Pertanyaan Bapak itu ditujukan padaku. Karena aku menggeleng, ia menjawab sendiri pertanyaannya, “Jawa Tengah.” Pengetahuan baru bagiku waktu itu, karena kota di Jawa Tengah yang kutahu hanyalah Semarang dan Solo.
Kurcaci keenam cengar-cengir ketika aku melangkah ke arahnya. Topi merahnya diarahkan ke belakang, gerak-geriknya seperti menunjukkan ia tak sabar menunggu saat diperkenalkan. Senyumnya seperti mengirim pesan, “Aku punya sesuatu untukmu.” Ia mengedipkan mata kirinya ketika mengulurkan tangan dan aku seperti mendengar bunyi “ting” ketika ia melakukan itu. Saat kami bersalaman, secara refleks aku menarik kembali tanganku karena kaget. Asem! Anak ini menyelipkan seekor belalang kecil di tangannya. Kaki-kaki belalang yang terasa tajam di telapak tanganku nyaris membuatku meloncat.
“Namaku Parlan,” katanya sambil terkekeh didahului deheman. Aku tersenyum kecut. Tak salah lagi, deheman itu yang tadi terdengar waktu Hasan kesulitan menyebut nama. Sepertinya anak cengengesan ini menikmati sekali posisinya sebagai “senior” yang menyambut masuknya anak baru.  Ia melanjutkan, “Duduk di kelas empat. Kamu nggak akan menyesal mengenal saya.”
Kesimpulanku saat itu: anak ini belagu.
Anak yang berdiri paling ujung berpenampilan beda dengan enam kurcaci lainnya. Ia bahkan tidak tepat kusebut kurcaci. Tampang Nurul dan enam anak yang berdiri berbaris itu serupa tampang-tampang yang biasa kulihat di kampungku. Dengan sekilas pandang engkau bisa tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang setiap hari bermain di kebun atau sawah, berlarian di jalan tanah, seringkali tanpa mengenakan alas kaki. Pakaian anak-anak seperti itu di kampungku jarang yang mulus. Kadang di beberapa bagian telah robek, kancingnya tidak lengkap, warna asli kainnya sudah termakan air dan sabun, seringkali juga dihiasi bercak-bercak pulau bekas getah pisang yang tak mau hilang meski sudah dikucek menggunakan perasan jeruk nipis. Sedangkan kulit mereka adalah kulit-kulit yang hampir sepanjang hari menikmati curahan sinar matahari, berkerak karena lumpur yang terbawa sehabis main di sawah, berhiaskan goresan luka di sana sini karena berlari di pematang yang ditumbuhi putri malu.
Dibanding enam kurcaci dengan penampilan serupa itu, anak terakhir ini seperti berada di tempat yang salah. Kulitnya bersih, wajahnya cerah mulus, dan cara bepakaiannya rapi. Terlalu rapi. Tubuhnya sepantar dengan Idik, tapi lebih proporsional karena tidak gemuk. Rambutnya yang lebat dan lurus diponi seperti Adi Bing Slamet. Siapa pun yang merawatnya, ia telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dugaanku, dia bukanlah kurcaci, melainkan Pangeran Tampan yang kelak akan membebaskan seorang puteri yang ditawan buta jahat.
“Nama…saya…Anugrah,” ucapnya ketika kami bersalaman. Bicaranya agak terbata-bata. Tiap kata seperti ia keluarkan dengan susah payah. Logatnya aneh, seolah berasal dari kota entah di mana. Ia mengerutkan keningnya beberapa kali sebelum meneruskan, “Saya masih di…kesal empat.”
Bapak memandang Anugrah dan sambil tersenyum bergumam, “Mmh?”
Anugrah kembali mengerutkan keningnya dan meralat ucapannya, “Di…di kelas empat.”
Selama upacara perkenalan itu berlangsung, dari sudut mata kulihat wanita cantik bertubuh tinggi yang sekarang kupanggil “Ibu” itu memperhatikan sambil tersenyum dari dapur. Di sampingnya berdiri Bi Isah yang sesekali memeriksa masakan di atas wajan.
“Rizki, mereka ini saudaramu. Kita di sini adalah keluarga besar,” Bapak berkata sambil memegang bahuku.
Kemudian katanya lagi, “Nah, sekarang waktunya solat Lohor. Siapa yang jadi imam?”
“Rizki!”
Suara itu mulai akrab di telingaku. Kali ini terdengar seperti mengejek. Aku menoleh dan kulihat Parlan masih tersenyum nakal setelah meneriakkan namaku. Sebelum aku sempat mengutarakan keberatan, suara-suara yang mendukung Parlan sudah terlebih dulu terdengar. Jumlah suara pendukung dia: enam.  Segera aku mengerti posisiku.
Aku yakin Parlan mengusulkan namaku bukan karena menganggap aku pantas jadi imam. Ia memang bermaksud ngerjain anak baru. Meski demikian aku tak ingin memberikan kemenangan mudah baginya. Akan kutunjukkan pada anak-anak yang lain bahwa sebagai anak tertua aku memang layak memimpin, sekalipun aku anak baru. Menjadi imam solat, sayangnya, menjadi ujian berat bagiku mengingat aku belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Di kampungku anak-anak tak pernah membentuk jemaah sendiri; kami selalu bermakmum ke orang yang lebih tua. Jika tak ada orang tua jadi imam, kami solat masing-masing.
Maka sepanjang wudu aku berusaha mengingat-ingat surat pendek yang akan kubaca nanti. Aku tak boleh gagal dalam memberikan kesan bagus pada kesempatan pertama. Apa daya, aku hanya sanggup menghafal Surat Al-Ikhlas dan Surat Al-Ashr—dua surat itu yang kerap dibaca bersama-sama di kelas dulu. Sebenarnya ingin aku membaca surat yang lebih panjang, namun aku sadar akan risiko lupa. Itu akan lebih memalukan dibanding ‘aib’ membaca surat yang terlalu “pasaran” seperti Al-Ikhlas. Apalagi dengan dada deg-degan seperti saat ini, bisa-bisa hafalan surat paling pendek pun terbang dari ingatan.
Dua shaf ma’mum sudah berdiri rapi, empat di depan, tiga di belakang. Degup di dadaku semakin kencang ketika Saepuloh mulai melantunkan komat. Kemudian pengalaman pertama menjadi imam pun kutunaikan.
Membaca Surat Al-Fatihah, suaraku kencang dan bulat. Mendapati suaramu sendiri menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara sekumpulan anak di dalam ruangan hening memberikan sensasi ganda: senang tapi mendebarkan. Namun ketika ayat terakhir surat itu kubacakan, koor “amin” yang biasanya mengiringinya, tidak terdengar. Hal itu sedikit mengusikku, tapi aku berusaha untuk tidak terpengaruh dan meneruskan dengan membaca Surat Al-Ikhlas. Perasaanku mulai tidak nyaman ketika di akhir surat Al-Fatihah pada rakaat kedua lagi-lagi tidak diikuti dengan sahutan “amin.” Aku mulai mengindera sesuatu yang salah. Apakah langgam bacaanku aneh dan tidak merdu bagi mereka? Yah, mau apa lagi, mereka kan tidak bisa mengharapkan aku membaca seperti Nanang Kosim! Atau tajwidku tidak tepat? Pelajaran tajwid untuk anak-anak seusiaku di langgar kampungku memang baru dimulai. Namun apa pun penyebab tidak terdengarnya koor amin itu, akibatnya jelas: kepercayaan diriku berkurang drastis. Saat membaca Surat Al-Ashr, suaraku mulai pecah dan bergetar. Apalagi ketika terdengar suara-suara ganjil yang tidak seharusnya di belakang, konsentrasiku semakin buyar.
Dua rakaat berikutnya kulalui dengan tidak khusyuk. Ingin rasanya ritual itu kuselesaikan secepatnya dan mengetahui apa yang terjadi di belakangku. Aku curiga, jangan-jangan Parlan yang belagu itu membuat kelucuan waktu solat.
Seusai mengucapkan salam, anak-anak melipat sarung sambil cekikikan dan menghambur keluar. Aku menoleh ke belakang. Hanya Saepuloh yang masih di sana. Ia masih dalam posisi duduk tasyahud akhir. Aku terpesona dengan wajah teduh dan senyum hangat yang dilontarkannya. Badannya agak dicondongkan ke arahku ketika berkata,
“Seharusnya kalau solat Lohor bacaannya nggak dikeraskan.”

∞∞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool