Mereka
berbaris seperti satu regu
Pramuka hendak upacara. Hanya saja barisan mereka tidak bisa disebut lurus dan
tak ada yang bisa menahan gerak lebih dari lima detik. Paling kiri adalah Nurul
yang wajahnya menunduk tapi bola matanya tak henti memandangku sambil memperlihatkan gigi ompong satunya.
Kedua tangannya menjepit bagian pinggir rok, tubuhnya tak bisa diam,
bergoyang-goyang seperti anak sekolah tengah menunggu giliran menari pada acara kenaikan
kelas. Di sebelahnya tujuh anak lelaki yang usianya tidak jauh
berbeda denganku berdiri dengan bermacam gaya. Kalau Putri Salju lebih kecil
dari para kurcaci dan ketujuh kurcaci itu berseragam putih merah, mungkin
seperti inilah penampilan mereka.
“Ini
Nurul,” Bapak menunjuk anak gadis lucu itu. Aku sudah tahu, tapi ini adalah
upacara resmi dan Bapak, Sang Inspektur Upacara, sedang memeriksa barisan dan memperkenalkan setiap peserta kepada anggota baru, aku, yang mengekor di
belakangnya dengan kikuk.
Nurul
mengulurkan tangan dengan malu-malu dan senyum lebar, lagi-lagi memamerkan gigi
ompong satunya. Aku menyambut uluran tangan dan senyumannya. Percayakah engkau
bahwa untuk setiap orang ada orang lain yang diciptakan dengan wajah yang mirip
satu sama lain? “Kembaran”-mu itu tidak mesti adik atau kakakmu; ia bisa jadi
seseorang yang hidup di suatu tempat di dunia lain dan kalian berdua tak
saling mengenal. Suatu hari takdir mungkin mempertemukan kalian berdua, namun
kasusnya tidaklah selalu demikian. “Kembaran” Fitri ternyata kutemukan tepat
seminggu setelah aku kehilangan dia.
Ketika Bapak mengingatkan bahwa masing-masing harus menyampaikan perkenalan dengan menceritakan dirinya, gadis cilik itu berkata terpatah-patah. “Nama saya Nurul Jannah. Kata Ibu, saya anak tercantik di sini.” Bunyi “r”-nya belum lagi jelas. Perkenalan pertama diiringi suara cekikikan dari anak-anak lain.
“Saya
Jajang Nurjaman, kelas empat. Dulu saya tinggal di Bandung. Ayah saya dulu banyak kenal artis terkenal.”
Aku
melirik Bapak; ia tersenyum mengangguk. Apakah ia anak yatim piatu juga?
Mengapa anak seorang yang kenal banyak artis
terkenal ada di antara kurcaci ini? Namun sebagai anak baru, aku cukup
tahu diri untuk tidak banyak tanya. Lagipula aku belum begitu mafhum dengan
aturan main di sini. Jadi aku lebih banyak mendengarkan.
“Ini
Saepuloh,”
Bapak menunjuk kurcaci kedua. Rupa anak ini sangat memikat. Ia tidak tampan
seperti tampang-tampang gedongan yang seminggu kemarin kulihat di majalah
“Ananda” milik anak Haji Idris. Kulitnya agak gelap, rambutnya sedikit
bergelombang. Alisnya tebal bak sepasang ulat hitam, tatapan matanya hangat
seakan dapat dengan mudah melelehkan hati setiap orang. Aku berusaha mencari
hal istimewa yang membuatnya tampak menyenangkan, tapi tidak ketemu.
“Saepul.” bisiknya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. Ah tidak, ia tidak
sedang tersenyum. Wajahnya memang selalu kelihatan seakan sedang tersenyum dan
rupanya itulah yang membuatnya terlihat menyenangkan. Melihat senyumnya yang
hangat, kontan aku menyukainya. Ia meneruskan, “Saya kelas empat. Keluarga saya
berasal dari Cianjur. Ayah dan Ibu sudah tidak ada, sekarang Bapak, Ibu, Mamang
dan Bibi menjadi orang tua saya.”
Bapak
tersenyum lebar sambil mengusap-usap kepala Saepuloh. Tampak sekali ia bangga
dan terharu mendengar kata-kata anak simpatik itu. Sudah barang tentu, aku yang
baru sekali mendengar caranya bicara saja sudah terkesan.
Berdiri
di sebelah Saepuloh adalah seorang anak bertubuh kurus dan pendek. Tingginya
hanya sedikit di atas Nurul. Berbeda dengan anak lain, dia mengenakan jaket.
Aneh sebenarnya, karena siang itu matahari bersinar cerah dan meski kami berada
di daerah Selabintana yang dikenal dengan suhunya yang rendah, udara siang itu
tidaklah dingin. Hal lain yang kutangkap tentang anak ini adalah rambutnya yang
lurus dan tidak rapi, seperti tokoh lelaki bertubuh kurus bersuara menyedihkan
berteman seekor anjing penakut dalam film kartun yang
kutonton di rumah seorang tetangga. Shaggy namanya, kalau aku tak salah ingat.
Ia
mengulurkan tangan dengan tidak bersemangat. Sampai tanganku menggenggamnya, ia
tidak juga menyebut nama. Salah seorang kurcaci berdehem sambil menahan tawa.
Bapak menegur si pendehem dengan halus dan sambil mengelus kepala si kurus, ia
menyuruhnya memperkenalkan diri.
Akhirnya
anak itu menyebutkan namanya dengan enggan, “Hasan.”
Mendengar
cara ia mengucapkan namanya seperti menyebut nama orang lain, aku jatuh
simpati. Barangkali begitu pulalah teman-teman dan guruku melihatku ketika
kusebutkan namaku di hari pertama masuk SD dulu. Hasan melanjutkan, “Kelas
tiga.” Dan semata itulah yang dia ucapkan. Rupanya kurcaci yang satu ini memang
tidak banyak bicara.
“Hasan
baru dua bulan bergabung di sini,” Bapak menambahkan.
Jadi
itu sebabnya ia begitu hemat kata.
Bapak
menunjuk kurcaci keempat. Tubuhnya paling subur di antara semua kurcaci itu. Ia
mengingatkanku kepada bola bekel yang direndam dalam minyak tanah. Disandingkan
dengan Hasan, mereka berdua seperti membentuk angka 10. Aku membayangkan, jika suatu hari nanti harus ikut
perlombaan tarik tambang, aku harus berada dalam kelompok anak satu ini. Sebelum Bapak sempat memperkenalkan, ia sudah mendahului, “Idik Sodikin.
Kelas empat, kiper sepakbola di sekolah.” Pasti cocok, pikirku. Tak akan ada
lagi celah untuk memasukkan bola kalau ia berdiri di gawang.
“Kalau
aku pemain bulutangkis,” kata kurcaci di sebelah Idik yang kemudian
memperkenalkan dirinya sebagai Sigit. Berhadapan dengan kurcaci kelima aku
langsung mendengar logat aneh.
Logatnya
yang asing untuk anak-anak yang berasal dari sekitar sini memancingku untuk
bertanya, “Asalmu dari mana?”
“Wonosobo.”
“Kamu
tahu itu di mana?” Pertanyaan Bapak itu ditujukan padaku. Karena aku
menggeleng, ia menjawab sendiri pertanyaannya, “Jawa Tengah.” Pengetahuan baru
bagiku waktu itu, karena kota di Jawa Tengah yang kutahu hanyalah Semarang dan
Solo.
Kurcaci
keenam cengar-cengir ketika aku melangkah ke arahnya. Topi merahnya diarahkan
ke belakang, gerak-geriknya seperti menunjukkan ia tak sabar menunggu saat
diperkenalkan. Senyumnya seperti mengirim pesan, “Aku punya sesuatu untukmu.”
Ia mengedipkan mata kirinya ketika mengulurkan tangan dan aku seperti mendengar
bunyi “ting” ketika ia melakukan itu. Saat kami bersalaman, secara refleks aku
menarik kembali tanganku karena kaget. Asem! Anak ini menyelipkan seekor
belalang kecil di tangannya. Kaki-kaki belalang yang terasa tajam di telapak
tanganku nyaris membuatku meloncat.
“Namaku
Parlan,”
katanya sambil terkekeh didahului deheman. Aku tersenyum kecut. Tak salah lagi,
deheman itu yang tadi terdengar waktu Hasan kesulitan menyebut nama. Sepertinya
anak cengengesan ini menikmati sekali posisinya sebagai “senior” yang menyambut
masuknya anak baru. Ia melanjutkan,
“Duduk di kelas empat. Kamu nggak akan menyesal mengenal saya.”
Kesimpulanku
saat itu: anak ini belagu.
Anak
yang berdiri paling ujung berpenampilan beda dengan enam kurcaci lainnya. Ia
bahkan tidak tepat kusebut kurcaci. Tampang Nurul dan enam anak yang berdiri
berbaris itu serupa tampang-tampang yang biasa kulihat di kampungku. Dengan
sekilas pandang engkau bisa tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang setiap hari
bermain di kebun atau sawah, berlarian di jalan tanah, seringkali tanpa
mengenakan alas kaki. Pakaian anak-anak seperti itu di kampungku jarang yang
mulus. Kadang di beberapa bagian telah robek, kancingnya tidak lengkap, warna
asli kainnya sudah termakan air dan sabun, seringkali juga dihiasi
bercak-bercak pulau bekas getah pisang yang tak mau hilang meski sudah dikucek
menggunakan perasan jeruk nipis. Sedangkan kulit mereka adalah kulit-kulit yang
hampir sepanjang hari menikmati curahan sinar matahari, berkerak karena lumpur
yang terbawa sehabis main di sawah, berhiaskan goresan luka di sana sini karena
berlari di pematang yang ditumbuhi putri malu.
Dibanding
enam kurcaci dengan penampilan serupa itu, anak terakhir ini seperti berada di
tempat yang salah. Kulitnya bersih, wajahnya cerah mulus, dan cara bepakaiannya
rapi. Terlalu rapi. Tubuhnya sepantar dengan Idik, tapi lebih proporsional
karena tidak gemuk. Rambutnya yang lebat dan lurus diponi seperti Adi Bing
Slamet. Siapa pun yang merawatnya, ia telah melakukan tugasnya dengan sangat
baik. Dugaanku, dia bukanlah kurcaci, melainkan Pangeran Tampan yang kelak akan
membebaskan seorang puteri yang ditawan buta
jahat.
“Nama…saya…Anugrah,”
ucapnya ketika kami bersalaman. Bicaranya agak terbata-bata. Tiap kata seperti
ia keluarkan dengan susah payah. Logatnya aneh, seolah berasal dari kota entah
di mana. Ia mengerutkan keningnya beberapa kali sebelum meneruskan, “Saya masih
di…kesal empat.”
Bapak
memandang Anugrah dan sambil tersenyum bergumam, “Mmh?”
Anugrah
kembali mengerutkan keningnya dan meralat ucapannya, “Di…di kelas empat.”
Selama
upacara perkenalan itu berlangsung, dari sudut mata kulihat wanita cantik
bertubuh tinggi yang sekarang kupanggil “Ibu” itu memperhatikan sambil
tersenyum dari dapur. Di sampingnya berdiri Bi Isah yang sesekali memeriksa
masakan di atas wajan.
“Rizki,
mereka ini saudaramu. Kita di sini adalah keluarga besar,” Bapak berkata sambil
memegang bahuku.
Kemudian
katanya lagi, “Nah, sekarang waktunya solat Lohor. Siapa yang jadi imam?”
“Rizki!”
Suara
itu mulai akrab di telingaku. Kali ini terdengar seperti mengejek. Aku menoleh
dan kulihat Parlan masih tersenyum nakal setelah meneriakkan namaku. Sebelum
aku sempat mengutarakan keberatan, suara-suara yang mendukung Parlan sudah
terlebih dulu terdengar. Jumlah suara pendukung dia: enam. Segera aku mengerti posisiku.
Aku
yakin Parlan mengusulkan namaku bukan karena menganggap aku pantas jadi imam.
Ia memang bermaksud ngerjain anak
baru. Meski demikian aku tak ingin memberikan kemenangan mudah baginya. Akan
kutunjukkan pada anak-anak yang lain bahwa sebagai anak tertua aku memang layak
memimpin, sekalipun aku anak baru. Menjadi imam solat, sayangnya, menjadi ujian
berat bagiku mengingat aku belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Di
kampungku anak-anak tak pernah membentuk jemaah sendiri; kami selalu bermakmum
ke orang yang lebih tua. Jika tak ada orang tua jadi imam, kami solat
masing-masing.
Maka
sepanjang wudu aku berusaha mengingat-ingat surat pendek yang akan kubaca
nanti. Aku tak boleh gagal dalam memberikan kesan bagus pada kesempatan
pertama. Apa daya, aku hanya sanggup menghafal Surat Al-Ikhlas dan Surat
Al-Ashr—dua surat itu yang kerap dibaca bersama-sama di kelas dulu. Sebenarnya
ingin aku membaca surat yang lebih panjang, namun aku sadar akan risiko lupa.
Itu akan lebih memalukan dibanding ‘aib’ membaca surat yang terlalu “pasaran”
seperti Al-Ikhlas. Apalagi dengan dada deg-degan seperti saat ini, bisa-bisa
hafalan surat paling pendek pun terbang dari ingatan.
Dua
shaf ma’mum sudah berdiri rapi, empat di depan, tiga di belakang. Degup di
dadaku semakin kencang ketika Saepuloh mulai melantunkan komat. Kemudian
pengalaman pertama menjadi imam pun kutunaikan.
Membaca
Surat Al-Fatihah, suaraku kencang dan bulat. Mendapati suaramu sendiri menjadi
satu-satunya suara yang terdengar di antara sekumpulan anak di dalam ruangan
hening memberikan sensasi ganda: senang tapi mendebarkan. Namun ketika ayat
terakhir surat itu kubacakan, koor “amin” yang biasanya mengiringinya, tidak
terdengar. Hal itu sedikit mengusikku, tapi aku berusaha untuk tidak
terpengaruh dan meneruskan dengan membaca Surat Al-Ikhlas. Perasaanku mulai
tidak nyaman ketika di akhir surat Al-Fatihah pada rakaat kedua lagi-lagi tidak
diikuti dengan sahutan “amin.” Aku mulai mengindera sesuatu yang salah. Apakah
langgam bacaanku aneh dan tidak merdu bagi mereka? Yah, mau apa lagi, mereka
kan tidak bisa mengharapkan aku membaca seperti Nanang Kosim! Atau tajwidku
tidak tepat? Pelajaran tajwid untuk anak-anak seusiaku di langgar kampungku
memang baru dimulai. Namun apa pun penyebab tidak terdengarnya koor amin itu,
akibatnya jelas: kepercayaan diriku berkurang drastis. Saat membaca Surat
Al-Ashr, suaraku mulai pecah dan bergetar. Apalagi ketika terdengar suara-suara
ganjil yang tidak seharusnya di belakang, konsentrasiku semakin buyar.
Dua
rakaat berikutnya kulalui dengan tidak khusyuk. Ingin rasanya ritual itu
kuselesaikan secepatnya dan mengetahui apa yang terjadi di belakangku. Aku
curiga, jangan-jangan Parlan yang belagu itu membuat kelucuan waktu solat.
Seusai
mengucapkan salam, anak-anak melipat sarung sambil cekikikan dan menghambur
keluar. Aku menoleh ke belakang. Hanya Saepuloh yang masih di sana. Ia masih
dalam posisi duduk tasyahud akhir. Aku terpesona dengan wajah teduh dan senyum
hangat yang dilontarkannya. Badannya agak dicondongkan ke arahku ketika berkata,
“Seharusnya
kalau solat Lohor bacaannya nggak dikeraskan.”
∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar