Agaknya
aku harus segera mengubah pola kegiatan harianku. Di sini sore hari bukanlah
waktu untuk bermain ke pinggiran hutan atau tegalan seperti yang biasa
kulakukan dengan Gepeng dan Maman di kampungku dulu, melainkan waktu untuk
belajar. Menyebutkan kata “belajar” dengan “sore” secara berurutan masih
terdengar ganjil di telingaku. Semula aku agak bingung ketika usai solat Ashar
Saepuloh mengingatkan aku untuk mengambil buku dan pensil. Sambil masih
bertanya-tanya dalam hati, aku pergi ke kamarku dan mengambil sebuah buku dari
tumpukan buku baru yang masih berada dalam kantung plastik dari toko. Bukunya
licin dan cerah, bergambar tokoh kartun, bukan buku bersampul warna nila dengan
kertas kasar. Buku begitu jika ditulisi dengan pulpen tintanya menyebar seperti
yang terjadi jika kau menulis di atas kain. Demikian itulah buku tulisku dulu.
Begitu
keluar kamar, kulihat ketujuh anak—aku masih canggung menyebut mereka
‘saudara’—itu sudah duduk mengelilingi meja batu yang terletak tepat di tengah
halaman rumput di depan kamar. Masing-masing memegang sebuah buku. Mereka
melambai padaku agar aku segera bergabung. Di satu sisi duduk Anugrah, Idik,
Jajang, dan Hasan. Berhadapan dengan meraka adalah Parlan, Saepuloh, dan Sigit.
Rupanya ujung kursi di sebelah Sigit memang disediakan untukku, berhadapan
dengan Hasan. Aku pun melangkah ke sana.
Sesaat
sebelum aku duduk, tiba-tiba Hasan berdiri dan memberi isyarat agar aku jangan
duduk. Ia berjalan ke belakangku dan mengambil sesuatu dari atas bangku yang
sedianya akan kududuki. Seekor siput kecil. Hasan melemparkannya ke rumput.
Ketika duduk kembali ke tempatnya, matanya mengerling ke arah Parlan yang duduk
di ujung lain dari bangkuku. Parlan mendesah kecewa dan berucap, “Payah!”
Segera aku mengerti bahwa dia hampir saja memperdayaiku lagi kalau saja Hasan
tidak bertindak sebagai penyelamat. Aku tersenyum sebagai tanda terima kasih
padanya, namun dia hanya melihatku sekilas tanpa berkata sepatah pun.
Aku
masih belum mengerti apa yang harus dilakukan dalam kelompok belajar ini. Di
ujung meja berdiri sebuah papan tulis putih berukuran sedang bersandar pada
penopang kayu berkaki tiga layaknya penyangga kanvas lukisan. Papan tulis
semacam itu hanya sekali pernah kulihat, yakni di ruang kepala sekolah.
Diam-diam aku merasa senang karena tentu akan ada kesempatan mencoba menulis di
atas papan tulis licin itu di sini.
Untuk
beberapa saat anak-anak masih bercakap-cakap dan bercanda. Kecuali Hasan. Ia
asyik sendiri dengan pinsil dan bukunya. Tubuh kecilnya masih diliputi jaket
seperti kemarin, kepalanya menunduk hampir menyentuh permukaan meja batu. Semula kukira ia
tengah menulis sesuatu, namun setelah kuperhatikan ternyata ia tengah
menggambar. Meski aku melihatnya dari arah terbalik, bisa kulihat yang
digambarnya adalah bunga putih dari tanaman yang ada di ujung meja di samping
kami. Aku seperti disadarkan dengan kehadiran tanaman tersebut. Sejak duduk aku
mencium aroma yang amat wangi dan lembut menenangkan. Belum pernah kucium aroma
sewangi ini. Aku menarik nafas panjang dan hampir memejamkan mata merasakan
lembut aroma bunga ini menjalari hidung dan dadaku.
Suara
seorang dewasa mengejutkanku. Aku menoleh dan di dekat papan tulis telah
berdiri seorang lelaki berusia dua puluhan berwajah ceria. Ia mengucapkan salam
dan kami serempak membalasnya. Ketika pandangannya tertuju ke arahku, ia
berkata,
“Wah,
ada siswa baru ya?”
Ia
mendekatiku dan menanyakan nama dan kelas berapa, yang kujawab tanpa kesulitan.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kak Trisna. Ketika ia bertanya aku sekolah di
SD mana, aku tak bisa menjawab.
Kemudian
kudengar Saepuloh berkata, “Kata Bapak, Rizki sekolah di SD Selabintana, bareng
dengan Sigit dan Hasan.” Mungkin karena melihat kerut di keningku, Saepuloh
meneruskan, “Kita pergi ke sekolah yang berbeda, Riz. Saya sama Parlan di SD
Wanasari, Idik dan Jajang di SD Palasari, sedangkan Anugrah di SD Cimanggah.
Semuanya masih di sekitar sini, kecuali SD Cimanggah yang ada di Kotamadya.”
“Baiklah,
sekarang kita mulai belajar. Dahului dengan berdoa ya,” kata Kak Trisna.
Anak-anak serempak
membaca “Robbii zidnii ‘ilmaa, warzuqnii
fahmaa, waj’alnii minash-shoolihiin.” Aku mengikutinya dengan suara pelan.
“Mau
pelajaran apa dulu?” tanya Kak Trisna seusai berdoa.
Sigit
menyebut matematika; Anugrah dan Jajang menyebut bahasa Indonesia; Idik,
Saepuloh, dan Parlan menyebut IPA; Hasan tidak menjawab karena asyik dengan
gambarnya; aku masih bingung karena baru tahu mau belajar apa bisa ditentukan
oleh murid.
“Baiklah,
kita mulai dengan IPA ya. Setelah itu kita lanjutkan dengan bahasa Indonesia
dan matematika. Nah, apa yang kalian tidak mengerti dengan pelajaran IPA minggu
ini?”
Sedikit
demi sedikit aku memahami cara belajar di sini. Masing-masing anak menyampaikan
hal-hal yang tidak mereka mengerti di kelas dan Kak Trisna menjelaskannya
sambil menulis di papan tulis atau memperlihatkan gambar dari buku tebal yang
ia bawa—jelas sekali itu bukanlah buku paket yang biasa dipakai di sekolah.
Gambar-gambarnya berwarna dan menarik. Sesekali ia melempar kembali pertanyaan
itu kepada kami, dan aku sebagai anak yang kelasnya tertinggi paling sering
disuruh menerangkan. Beberapa pertanyaan sebenarnya masih kuingat dari
pelajaran kelas 3 dan 4, tapi untuk menjelaskan, aku sering tersendat-sendat.
Untunglah Kak Trisna membantuku dengan menyebutkan kata-kata yang aku cari
setiap kali aku menggumamkan “mmm.”
Ketika
kegiatan belajar itu selesai hampir dua jam kemudian saat cuaca mulai
remang-remang, aku merasa gembira. Gembira demi mengetahui bahwa aku tak perlu
khawatir jika menemui kesulitan di kelas. Ada Kak Trisna yang bisa membuat soal
sulit terlihat mudah. Di rumahku dulu, manakala aku menemukan hal-hal yang
tidak kumengerti dalam pelajaran, Abah dan Umi tak bisa banyak membantu. Dan
aku tidak lagi banyak bertanya karena tak ingin menemukan raut bersalah pada
wajah kedua orang tuaku.
Namun
sepanjang kegiatan belajar itu perhatianku beberapa kali tersita oleh perilaku
Hasan. Ia seringkali lebih asyik dengan dirinya sendiri, menggambar di
bagian-bagian sudut halaman bukunya. Hanya jika namanya disebut ia mengangkat
muka dan memperhatikan Kak Trisna. Ia tak pernah bertanya dan hanya bicara
ketika ditanya, itu pun seperlunya saja. Ketika pelajaran usai dan ia menutup
bukunya, sempat kulihat sekilas tulisan namanya di sampul buku. Alangkah
indahnya tulisan itu, batinku. Padahal ia baru duduk di kelas tiga. Bahkan
sampai aku duduk di kelas lima sekarang, tulisanku tidak sebagus itu.
“Itu
tulisanmu?” tanyaku menunjuk sampul bukunya sesaat sebelum meninggalkan meja
dan kembali ke kamar masing-masing.
Ia
mengangguk, lalu berjalan menuju kamar. Aku berjalan di sampingnya.
“Tulisanmu
bagus sekali. Kalau saja tulisanku sebagus itu…”
Ia
menoleh padaku. “Kenapa?”
“Tulisanku
jelek. Kadang naik turun. Mau nulis nama di buku saja harus pakai penggaris.”
Ketika
itu aku sudah berada di depan pintu kamar, demikian pula Hasan yang ternyata
kamarnya bersebelahan dengan kamarku. Ia hanya mengangguk dan menghilang di
balik pintu kamarnya. Aku pun masuk kamar.
Udara
mulai terasa dingin—jauh lebih dingin daripada yang biasa kurasakan di
kampungku dulu. Aku agak menggigil karena belum terbiasa dengan udara di kaki
Gunung Gede
ini. Aku menuju jendela dan sekali lagi memperhatikan pemandangan lapang rumput
dan pepohonan di luar yang mulai temaram. Langit semakin samar kelihatan.
Pohon-pohon itu sekarang hanya berupa sosok-sosok hitam. Burung-burung kapinis
yang tadi sesekali melintas berombongan sudah tidak terlihat, mungkin pulang
setelah seharian penuh berburu serangga-serangga kecil di sekitar pohon
beringin, atau di atas ladang dan sawah. Mereka kembali ke sarang di bawah gua,
di langit-langit rumah tua, atau di menara mesjid. Masa mereka menguasai udara
sudah lewat, dan memberi giliran pada kelelawar.
Seseorang
mengetuk pintu dan mengucap salam. Aku membukanya. Saepuloh masuk.
“Kok
gelap-gelapan sih?” katanya sambil meraba-raba sesuatu di dinding dekat
pintu. Aku baru sadar bahwa kamarku memang gelap. Saepuloh menemukan tombol dan
menekannya. Ruangan mendadak terang-benderang. Ya ampun. Aku bahkan tidak tahu
kalau ada tombol di sana—sebenarnya…aku memang tidak tahu ada lampu di kamar
ini. Di rumahku dulu, menjelang Magrib biasanya kami menghidupkan petromaks
untuk penerangan di tengah rumah, sedangkan di kamar menggunakan lampu teplok
minyak tanah. Tinggal di rumah dengan penerangan lampu listrik baru kualami
seminggu lalu di rumah Haji Idris. Ah, banyak benar hal baru yang kualami di
rumah ini.
“Sebentar
lagi Magrib. Yuk siap-siap,” Saepuloh berkata lagi.
Pada
solat Magrib, semua penghuni rumah hadir di musola, termasuk Ibu, Bi Isah dan
Nurul yang mukanya hampir tenggelam dalam mukena. Begitu Saepuloh selesai
melantunkan iqomah, aku menduga Bapak yang akan memimpin solat. Ternyata
keliru. Mang Amir-lah yang maju dan menjadi imam. Orang yang tadi siang kulihat
sebagai tukang kebun berwajah keras dan agak menakutkan itu berubah menjadi
berwibawa. Aku segera menyadari bahwa dia bukanlah tukang kebun seperti yang
semula kukira. Setidaknya bukan tukang kebun biasa.
Dan
begitu dia mulai membacakan Al Fatihah, seketika aku terlena. Untaian ayat-ayat
suci itu begitu indah keluar dari mulutnya. Setiap huruf yang terucap terdengar
jernih, suaranya lembut dan dalam,
tapi tegas. Irama yang dia bawakan tidak berlenggang-lenggok seperti bacaan
seorang qori di ajang MTQ. Langgamnya begitu bersahaja, tapi setiap bunyi
keluar dari makhroj[1]
yang tepat, setiap harakat[2]
berdurasi begitu pas, menghasilkan alunan yang meresap ke dalam dadaku, seakan
aku bisa menghayati makna terdalam dari setiap kata yang terdengar. Petang
menjelang malam di udara dingin Selabintana tidak lagi membuatku menggigil,
tapi sejuk menenangkan. Aku merasa ada udara hangat yang lembut menyelimutiku,
membuat tubuhku ringan dan lapang. Kapan engkau merasa seakan melayang ketika mendengar alunan ayat-ayat suci? Aku seakan tak
rela ketika imam
mengucapkan takbir dan melaksanakan ruku. Ya Allah, seandainya setiap Magrib
seindah dan sehangat ini, tak perlulah orang tua di kampungku berteriak-teriak
memanggil kami yang masih berlarian di jalan meski adzan sudah dikumandangkan.
Di
malam pertama itu pun aku tahu, bahwa di rumah ini, setelah Magrib semua anak
tidak boleh keluar musola sampai saatnya mendirikan solat Isya. Kami berdelapan
duduk melingkar dan satu per satu disuruh membaca satu halaman melanjutkan hanca[3]
hari sebelumnya. Karena tidak punya hanca,
aku mulai membaca dari Al Fatihah dan Al Baqoroh. Setiap kali seorang anak
membuat kesalahan dalam membaca, Mang Amir memotongnya dan menjelaskan
hukum-hukum bacaan sambil menulis pada papan tulis—papan tulis putih yang sama
dengan yang dipakai Kak Trisna tadi sore, kali ini tanpa penopang berkaki tiga.
Pada
saat bergiliran membaca itu, aku mulai bisa melihat peta kemampuan kami.
Saepuloh, si anak berperangai lembut dan berwajah menyenangkan itu, benar-benar
membuatku iri. Dialah di antara kami yang paling fasih bacaannya. Aku
membayangkan jika telah besar nanti bacaannya bisa seindah atau bahkan melebihi
keindahan bacaan Mang Amir. Dia pula yang paling sering dengan tepat menjawab
pertanyaan. Jika aku dan yang lain belum bisa sepenuhnya mengetahui idzhar, idgom, ikhfa, dan iqlab[4],
Saepuloh bisa membedakan mana idgom bi
gunnah dan mana idgom bi laa gunnah.
Aku hanya bisa terkagum-kagum melihat ia bisa menunjukkan bahwa bacaan
berharakat panjang tertentu adalah mad
tobiin dan bukan mad arid lis sukun.
Mang Amir pun tak bisa menyembunyikan kebanggaannya pada muridnya yang satu
ini. Ah, siapa yang bisa.
Sementara
Anugrah yang kulihat paling terbata-bata dalam membaca. Si Pangeran Tampan ini
masih kesulitan membedakan wawu dan fa, atau fa dan qaf. Ia juga kerap
keliru membaca ba sebagai nun, atau nun sebagai ya. Mang Amir
dengan sabar menjelaskan dan memberi contoh perbedaan huruf-huruf tersebut.
Suasana mengaji di sini berbeda sekali dengan di mesjid kampungku. Di sana jika
membuat kesalahan yang sama sampai tiga kali, kami harus rela meletakkan tangan
di atas tikar dengan telapak menghadap ke atas. Kemudian kami memejamkan mata
dan berdoa dengan khusyuk memohon Allah memberikan kemurahan hati kepada ustadz
agar tidak memukulkan tongkat penunjuk ke telapak kami terlalu keras. Pulang
mengaji dengan tanda merah di tangan bukanlah sesuatu yang aneh. Di sini,
sekali pun Anugrah berulang kali salah membaca huruf, Mang Amir tetap
menjelaskannya berulang kali dengan sabar. Meski suaranya berat, aku tetap
merasakan kelembutan dan sama sekali tidak menangkap nada kesal di sana.
Tampaknya dia sangat menikmati dan menghayati perannya sebagai ustadz. Tak
mungkin itu bisa dilakukan tanpa keikhlasan yang tulus dari lubuk hatinya.
Namun kesabaran Mang Amir tampaknya tidak cukup menentramkan Anugrah. Ia
seperti gelisah ketika berulang kali keliru membedakan antara satu titik dan
dua titik sebuah huruf. Sepertinya ia juga menyamakan titik yang ada di bawah
dan di atas huruf.
Kemampuan
anak-anak lainnya, termasuk aku, berada di antara titik Saepuloh dan titik
Anugrah.
Seusai
solat Isya, kami duduk mengelilingi meja makan panjang yang terletak di teras
belakang. Inilah makan malam pertamaku di rumah ini. Seperti halnya botram makan siang tadi, penghuni rumah
hadir semua. Saat makan aku melihat ke halaman rumput di tengah itu, dan baru
menyadari bahwa ada lampu di bawah kedua tanaman yang terletak di masing-masing
ujung meja batu itu. Sinar lampu membuat tanaman itu semakin indah dalam
temaram malam, bunga putihnya yang mungil bergerombol serupa sikat pembersih
kompor, bergoyang-goyang
digelitik
angin malam.
Begitu
makan malam usai, semua anak menghambur ke ruang tengah untuk menonton
televisi, kecuali Saepuloh dan Hasan. Kedua anak itu kembali ke kamar
masing-masing. Aku sendiri bergabung di ruang tengah dan ikut menikmati
keceriaan itu. Kami duduk di karpet dengan mata terpaku pada layar kaca. Ibu
dan Bapak duduk sofa. Anugrah sempat duduk di antara mereka berdua, tapi
kemudian bergabung dengan kami di karpet. Keasyikan kami menonton agak
terganggu dengan kelakukan Jajang yang selalu mengomentari setiap artis yang
muncul di layar. Sepertinya ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa ia yang
paling tahu nama-nama artis itu.
Malam
itu disiarkan acara yang rupanya dinanti-nantikan anak-anak, yaitu Aneka Ria
Safari pimpinan Eddy Sud. Sebelumnya pernah sekali dua aku melihat acara ini,
yang kutonton bersama Gepeng di rumah salah seorang tetangga sepulang dari
mesjid. Namun di sana, kaca ajaib yang disimpan di dalam kotak kayu berkaki
empat dan berpintu dorong itu hanya menampilkan tiga warna: kuning, merah dan
hijau. Itulah warna filter yang ditempel di depan layar televisi hitam-putih.
Berkat filter itu, kulit wajah seorang artis bisa berwarna kuning, sedetik
kemudian berubah menjadi merah dan detik berikutnya berubah hijau, tergantung
di posisi mana dia tampil di layar. Suara sang artis hampir-hampir tak
terdengar, musiknya pun hanya lamat-lamat sampai di telingaku. Jadi kami hanya
menikmati lenggang-lenggoknya, sambil menebak-nebak apa yang ia nyanyikan
seolah kami ini piawai membaca gerak bibir. Namun demikian itu sudah menjadi
hiburan yang menyenangkan bagi kami. Hanya satu syarat yang harus kami lakukan agar hiburan itu bisa terus kami
tonton: kami harus rajin-rajin menggosokkan sarung
menghapus embun yang terbentuk dari hembusan nafas dan memburamkan pemandangan.
Maklum, kami menontonnya dari balik kaca jendela si empunya rumah, sambil
berbalut sarung untuk menghindari gigitan nyamuk. Kendati begitu kami tetap
berterima kasih kepada si empunya rumah karena telah membiarkan gorden terbuka
dan mengarahkan layar televisi ke arah muka rumah sehingga kami bisa ikut
menikmati hiburan istimewa itu. Kami tahu pengorbanan mereka bukan cuma itu. Setiap pagi mereka harus
membersihkan kaca depan rumah.
Tanpa
terhalang embun nafas dan dengan suara yang terdengar,
penampilan artis-artis Safari itu semakin memikat. Apalagi warna-warna yang
ditampilkan memang seperti asli. Aku bahkan bisa melihat kilauan seperti
taburan permata halus di pelipis para penyanyi, berkelap-kelip laksana riak
sungai pada malam purnama. Hebatnya kotak kaca ajaib ini! Eddy Sud tidak lagi
berwajah hijau, apalagi sampai barisan gigi atas dan bawahnya beda warna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar