6. Eddy Sud tidak Berwarna Hijau


Agaknya aku harus segera mengubah pola kegiatan harianku. Di sini sore hari bukanlah waktu untuk bermain ke pinggiran hutan atau tegalan seperti yang biasa kulakukan dengan Gepeng dan Maman di kampungku dulu, melainkan waktu untuk belajar. Menyebutkan kata “belajar” dengan “sore” secara berurutan masih terdengar ganjil di telingaku. Semula aku agak bingung ketika usai solat Ashar Saepuloh mengingatkan aku untuk mengambil buku dan pensil. Sambil masih bertanya-tanya dalam hati, aku pergi ke kamarku dan mengambil sebuah buku dari tumpukan buku baru yang masih berada dalam kantung plastik dari toko. Bukunya licin dan cerah, bergambar tokoh kartun, bukan buku bersampul warna nila dengan kertas kasar. Buku begitu jika ditulisi dengan pulpen tintanya menyebar seperti yang terjadi jika kau menulis di atas kain. Demikian itulah buku tulisku dulu.
Begitu keluar kamar, kulihat ketujuh anak—aku masih canggung menyebut mereka ‘saudara’—itu sudah duduk mengelilingi meja batu yang terletak tepat di tengah halaman rumput di depan kamar. Masing-masing memegang sebuah buku. Mereka melambai padaku agar aku segera bergabung. Di satu sisi duduk Anugrah, Idik, Jajang, dan Hasan. Berhadapan dengan meraka adalah Parlan, Saepuloh, dan Sigit. Rupanya ujung kursi di sebelah Sigit memang disediakan untukku, berhadapan dengan Hasan. Aku pun melangkah ke sana.

Sesaat sebelum aku duduk, tiba-tiba Hasan berdiri dan memberi isyarat agar aku jangan duduk. Ia berjalan ke belakangku dan mengambil sesuatu dari atas bangku yang sedianya akan kududuki. Seekor siput kecil. Hasan melemparkannya ke rumput. Ketika duduk kembali ke tempatnya, matanya mengerling ke arah Parlan yang duduk di ujung lain dari bangkuku. Parlan mendesah kecewa dan berucap, “Payah!” Segera aku mengerti bahwa dia hampir saja memperdayaiku lagi kalau saja Hasan tidak bertindak sebagai penyelamat. Aku tersenyum sebagai tanda terima kasih padanya, namun dia hanya melihatku sekilas tanpa berkata sepatah pun.
Aku masih belum mengerti apa yang harus dilakukan dalam kelompok belajar ini. Di ujung meja berdiri sebuah papan tulis putih berukuran sedang bersandar pada penopang kayu berkaki tiga layaknya penyangga kanvas lukisan. Papan tulis semacam itu hanya sekali pernah kulihat, yakni di ruang kepala sekolah. Diam-diam aku merasa senang karena tentu akan ada kesempatan mencoba menulis di atas papan tulis licin itu di sini.
Untuk beberapa saat anak-anak masih bercakap-cakap dan bercanda. Kecuali Hasan. Ia asyik sendiri dengan pinsil dan bukunya. Tubuh kecilnya masih diliputi jaket seperti kemarin, kepalanya menunduk hampir menyentuh permukaan meja batu. Semula kukira ia tengah menulis sesuatu, namun setelah kuperhatikan ternyata ia tengah menggambar. Meski aku melihatnya dari arah terbalik, bisa kulihat yang digambarnya adalah bunga putih dari tanaman yang ada di ujung meja di samping kami. Aku seperti disadarkan dengan kehadiran tanaman tersebut. Sejak duduk aku mencium aroma yang amat wangi dan lembut menenangkan. Belum pernah kucium aroma sewangi ini. Aku menarik nafas panjang dan hampir memejamkan mata merasakan lembut aroma bunga ini menjalari hidung dan dadaku.
Suara seorang dewasa mengejutkanku. Aku menoleh dan di dekat papan tulis telah berdiri seorang lelaki berusia dua puluhan berwajah ceria. Ia mengucapkan salam dan kami serempak membalasnya. Ketika pandangannya tertuju ke arahku, ia berkata,
“Wah, ada siswa baru ya?”
Ia mendekatiku dan menanyakan nama dan kelas berapa, yang kujawab tanpa kesulitan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kak Trisna. Ketika ia bertanya aku sekolah di SD mana, aku tak bisa menjawab.
Kemudian kudengar Saepuloh berkata, “Kata Bapak, Rizki sekolah di SD Selabintana, bareng dengan Sigit dan Hasan.” Mungkin karena melihat kerut di keningku, Saepuloh meneruskan, “Kita pergi ke sekolah yang berbeda, Riz. Saya sama Parlan di SD Wanasari, Idik dan Jajang di SD Palasari, sedangkan Anugrah di SD Cimanggah. Semuanya masih di sekitar sini, kecuali SD Cimanggah yang ada di Kotamadya.”
“Baiklah, sekarang kita mulai belajar. Dahului dengan berdoa ya,” kata Kak Trisna.
Anak-anak serempak membaca “Robbii zidnii ‘ilmaa, warzuqnii fahmaa, waj’alnii minash-shoolihiin.” Aku mengikutinya dengan suara pelan.
“Mau pelajaran apa dulu?” tanya Kak Trisna seusai berdoa.
Sigit menyebut matematika; Anugrah dan Jajang menyebut bahasa Indonesia; Idik, Saepuloh, dan Parlan menyebut IPA; Hasan tidak menjawab karena asyik dengan gambarnya; aku masih bingung karena baru tahu mau belajar apa bisa ditentukan oleh murid.
“Baiklah, kita mulai dengan IPA ya. Setelah itu kita lanjutkan dengan bahasa Indonesia dan matematika. Nah, apa yang kalian tidak mengerti dengan pelajaran IPA minggu ini?”
Sedikit demi sedikit aku memahami cara belajar di sini. Masing-masing anak menyampaikan hal-hal yang tidak mereka mengerti di kelas dan Kak Trisna menjelaskannya sambil menulis di papan tulis atau memperlihatkan gambar dari buku tebal yang ia bawa—jelas sekali itu bukanlah buku paket yang biasa dipakai di sekolah. Gambar-gambarnya berwarna dan menarik. Sesekali ia melempar kembali pertanyaan itu kepada kami, dan aku sebagai anak yang kelasnya tertinggi paling sering disuruh menerangkan. Beberapa pertanyaan sebenarnya masih kuingat dari pelajaran kelas 3 dan 4, tapi untuk menjelaskan, aku sering tersendat-sendat. Untunglah Kak Trisna membantuku dengan menyebutkan kata-kata yang aku cari setiap kali aku menggumamkan “mmm.”
Ketika kegiatan belajar itu selesai hampir dua jam kemudian saat cuaca mulai remang-remang, aku merasa gembira. Gembira demi mengetahui bahwa aku tak perlu khawatir jika menemui kesulitan di kelas. Ada Kak Trisna yang bisa membuat soal sulit terlihat mudah. Di rumahku dulu, manakala aku menemukan hal-hal yang tidak kumengerti dalam pelajaran, Abah dan Umi tak bisa banyak membantu. Dan aku tidak lagi banyak bertanya karena tak ingin menemukan raut bersalah pada wajah kedua orang tuaku.
Namun sepanjang kegiatan belajar itu perhatianku beberapa kali tersita oleh perilaku Hasan. Ia seringkali lebih asyik dengan dirinya sendiri, menggambar di bagian-bagian sudut halaman bukunya. Hanya jika namanya disebut ia mengangkat muka dan memperhatikan Kak Trisna. Ia tak pernah bertanya dan hanya bicara ketika ditanya, itu pun seperlunya saja. Ketika pelajaran usai dan ia menutup bukunya, sempat kulihat sekilas tulisan namanya di sampul buku. Alangkah indahnya tulisan itu, batinku. Padahal ia baru duduk di kelas tiga. Bahkan sampai aku duduk di kelas lima sekarang, tulisanku tidak sebagus itu.
“Itu tulisanmu?” tanyaku menunjuk sampul bukunya sesaat sebelum meninggalkan meja dan kembali ke kamar masing-masing.
Ia mengangguk, lalu berjalan menuju kamar. Aku berjalan di sampingnya.
“Tulisanmu bagus sekali. Kalau saja tulisanku sebagus itu…”
Ia menoleh padaku. “Kenapa?”
“Tulisanku jelek. Kadang naik turun. Mau nulis nama di buku saja harus pakai penggaris.”
Ketika itu aku sudah berada di depan pintu kamar, demikian pula Hasan yang ternyata kamarnya bersebelahan dengan kamarku. Ia hanya mengangguk dan menghilang di balik pintu kamarnya. Aku pun masuk kamar.
Udara mulai terasa dingin—jauh lebih dingin daripada yang biasa kurasakan di kampungku dulu. Aku agak menggigil karena belum terbiasa dengan udara di kaki Gunung Gede ini. Aku menuju jendela dan sekali lagi memperhatikan pemandangan lapang rumput dan pepohonan di luar yang mulai temaram. Langit semakin samar kelihatan. Pohon-pohon itu sekarang hanya berupa sosok-sosok hitam. Burung-burung kapinis yang tadi sesekali melintas berombongan sudah tidak terlihat, mungkin pulang setelah seharian penuh berburu serangga-serangga kecil di sekitar pohon beringin, atau di atas ladang dan sawah. Mereka kembali ke sarang di bawah gua, di langit-langit rumah tua, atau di menara mesjid. Masa mereka menguasai udara sudah lewat, dan memberi giliran pada kelelawar.
Seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam. Aku membukanya. Saepuloh masuk.
“Kok gelap-gelapan sih?” katanya sambil meraba-raba sesuatu di dinding dekat pintu. Aku baru sadar bahwa kamarku memang gelap. Saepuloh menemukan tombol dan menekannya. Ruangan mendadak terang-benderang. Ya ampun. Aku bahkan tidak tahu kalau ada tombol di sana—sebenarnya…aku memang tidak tahu ada lampu di kamar ini. Di rumahku dulu, menjelang Magrib biasanya kami menghidupkan petromaks untuk penerangan di tengah rumah, sedangkan di kamar menggunakan lampu teplok minyak tanah. Tinggal di rumah dengan penerangan lampu listrik baru kualami seminggu lalu di rumah Haji Idris. Ah, banyak benar hal baru yang kualami di rumah ini.
“Sebentar lagi Magrib. Yuk siap-siap,” Saepuloh berkata lagi.
Pada solat Magrib, semua penghuni rumah hadir di musola, termasuk Ibu, Bi Isah dan Nurul yang mukanya hampir tenggelam dalam mukena. Begitu Saepuloh selesai melantunkan iqomah, aku menduga Bapak yang akan memimpin solat. Ternyata keliru. Mang Amir-lah yang maju dan menjadi imam. Orang yang tadi siang kulihat sebagai tukang kebun berwajah keras dan agak menakutkan itu berubah menjadi berwibawa. Aku segera menyadari bahwa dia bukanlah tukang kebun seperti yang semula kukira. Setidaknya bukan tukang kebun biasa.
Dan begitu dia mulai membacakan Al Fatihah, seketika aku terlena. Untaian ayat-ayat suci itu begitu indah keluar dari mulutnya. Setiap huruf yang terucap terdengar jernih, suaranya lembut dan dalam, tapi tegas. Irama yang dia bawakan tidak berlenggang-lenggok seperti bacaan seorang qori di ajang MTQ. Langgamnya begitu bersahaja, tapi setiap bunyi keluar dari makhroj[1] yang tepat, setiap harakat[2] berdurasi begitu pas, menghasilkan alunan yang meresap ke dalam dadaku, seakan aku bisa menghayati makna terdalam dari setiap kata yang terdengar. Petang menjelang malam di udara dingin Selabintana tidak lagi membuatku menggigil, tapi sejuk menenangkan. Aku merasa ada udara hangat yang lembut menyelimutiku, membuat tubuhku ringan dan lapang. Kapan engkau merasa seakan melayang ketika mendengar alunan ayat-ayat suci? Aku seakan tak rela ketika imam mengucapkan takbir dan melaksanakan ruku. Ya Allah, seandainya setiap Magrib seindah dan sehangat ini, tak perlulah orang tua di kampungku berteriak-teriak memanggil kami yang masih berlarian di jalan meski adzan sudah dikumandangkan.
Di malam pertama itu pun aku tahu, bahwa di rumah ini, setelah Magrib semua anak tidak boleh keluar musola sampai saatnya mendirikan solat Isya. Kami berdelapan duduk melingkar dan satu per satu disuruh membaca satu halaman melanjutkan hanca[3] hari sebelumnya. Karena tidak punya hanca, aku mulai membaca dari Al Fatihah dan Al Baqoroh. Setiap kali seorang anak membuat kesalahan dalam membaca, Mang Amir memotongnya dan menjelaskan hukum-hukum bacaan sambil menulis pada papan tulis—papan tulis putih yang sama dengan yang dipakai Kak Trisna tadi sore, kali ini tanpa penopang berkaki tiga.
Pada saat bergiliran membaca itu, aku mulai bisa melihat peta kemampuan kami. Saepuloh, si anak berperangai lembut dan berwajah menyenangkan itu, benar-benar membuatku iri. Dialah di antara kami yang paling fasih bacaannya. Aku membayangkan jika telah besar nanti bacaannya bisa seindah atau bahkan melebihi keindahan bacaan Mang Amir. Dia pula yang paling sering dengan tepat menjawab pertanyaan. Jika aku dan yang lain belum bisa sepenuhnya mengetahui idzhar, idgom, ikhfa, dan iqlab[4], Saepuloh bisa membedakan mana idgom bi gunnah dan mana idgom bi laa gunnah. Aku hanya bisa terkagum-kagum melihat ia bisa menunjukkan bahwa bacaan berharakat panjang tertentu adalah mad tobiin dan bukan mad arid lis sukun. Mang Amir pun tak bisa menyembunyikan kebanggaannya pada muridnya yang satu ini. Ah, siapa yang bisa.
Sementara Anugrah yang kulihat paling terbata-bata dalam membaca. Si Pangeran Tampan ini masih kesulitan membedakan wawu dan fa, atau fa dan qaf. Ia juga kerap keliru membaca ba sebagai nun, atau nun sebagai ya. Mang Amir dengan sabar menjelaskan dan memberi contoh perbedaan huruf-huruf tersebut. Suasana mengaji di sini berbeda sekali dengan di mesjid kampungku. Di sana jika membuat kesalahan yang sama sampai tiga kali, kami harus rela meletakkan tangan di atas tikar dengan telapak menghadap ke atas. Kemudian kami memejamkan mata dan berdoa dengan khusyuk memohon Allah memberikan kemurahan hati kepada ustadz agar tidak memukulkan tongkat penunjuk ke telapak kami terlalu keras. Pulang mengaji dengan tanda merah di tangan bukanlah sesuatu yang aneh. Di sini, sekali pun Anugrah berulang kali salah membaca huruf, Mang Amir tetap menjelaskannya berulang kali dengan sabar. Meski suaranya berat, aku tetap merasakan kelembutan dan sama sekali tidak menangkap nada kesal di sana. Tampaknya dia sangat menikmati dan menghayati perannya sebagai ustadz. Tak mungkin itu bisa dilakukan tanpa keikhlasan yang tulus dari lubuk hatinya. Namun kesabaran Mang Amir tampaknya tidak cukup menentramkan Anugrah. Ia seperti gelisah ketika berulang kali keliru membedakan antara satu titik dan dua titik sebuah huruf. Sepertinya ia juga menyamakan titik yang ada di bawah dan di atas huruf.
Kemampuan anak-anak lainnya, termasuk aku, berada di antara titik Saepuloh dan titik Anugrah.
Seusai solat Isya, kami duduk mengelilingi meja makan panjang yang terletak di teras belakang. Inilah makan malam pertamaku di rumah ini. Seperti halnya botram makan siang tadi, penghuni rumah hadir semua. Saat makan aku melihat ke halaman rumput di tengah itu, dan baru menyadari bahwa ada lampu di bawah kedua tanaman yang terletak di masing-masing ujung meja batu itu. Sinar lampu membuat tanaman itu semakin indah dalam temaram malam, bunga putihnya yang mungil bergerombol serupa sikat pembersih kompor, bergoyang-goyang digelitik angin malam.
Begitu makan malam usai, semua anak menghambur ke ruang tengah untuk menonton televisi, kecuali Saepuloh dan Hasan. Kedua anak itu kembali ke kamar masing-masing. Aku sendiri bergabung di ruang tengah dan ikut menikmati keceriaan itu. Kami duduk di karpet dengan mata terpaku pada layar kaca. Ibu dan Bapak duduk sofa. Anugrah sempat duduk di antara mereka berdua, tapi kemudian bergabung dengan kami di karpet. Keasyikan kami menonton agak terganggu dengan kelakukan Jajang yang selalu mengomentari setiap artis yang muncul di layar. Sepertinya ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa ia yang paling tahu nama-nama artis itu.
Malam itu disiarkan acara yang rupanya dinanti-nantikan anak-anak, yaitu Aneka Ria Safari pimpinan Eddy Sud. Sebelumnya pernah sekali dua aku melihat acara ini, yang kutonton bersama Gepeng di rumah salah seorang tetangga sepulang dari mesjid. Namun di sana, kaca ajaib yang disimpan di dalam kotak kayu berkaki empat dan berpintu dorong itu hanya menampilkan tiga warna: kuning, merah dan hijau. Itulah warna filter yang ditempel di depan layar televisi hitam-putih. Berkat filter itu, kulit wajah seorang artis bisa berwarna kuning, sedetik kemudian berubah menjadi merah dan detik berikutnya berubah hijau, tergantung di posisi mana dia tampil di layar. Suara sang artis hampir-hampir tak terdengar, musiknya pun hanya lamat-lamat sampai di telingaku. Jadi kami hanya menikmati lenggang-lenggoknya, sambil menebak-nebak apa yang ia nyanyikan seolah kami ini piawai membaca gerak bibir. Namun demikian itu sudah menjadi hiburan yang menyenangkan bagi kami. Hanya satu syarat yang harus kami lakukan agar hiburan itu bisa terus kami tonton: kami harus rajin-rajin menggosokkan sarung menghapus embun yang terbentuk dari hembusan nafas dan memburamkan pemandangan. Maklum, kami menontonnya dari balik kaca jendela si empunya rumah, sambil berbalut sarung untuk menghindari gigitan nyamuk. Kendati begitu kami tetap berterima kasih kepada si empunya rumah karena telah membiarkan gorden terbuka dan mengarahkan layar televisi ke arah muka rumah sehingga kami bisa ikut menikmati hiburan istimewa itu. Kami tahu pengorbanan mereka bukan cuma itu. Setiap pagi mereka harus membersihkan kaca depan rumah.
Tanpa terhalang embun nafas dan dengan suara yang terdengar, penampilan artis-artis Safari itu semakin memikat. Apalagi warna-warna yang ditampilkan memang seperti asli. Aku bahkan bisa melihat kilauan seperti taburan permata halus di pelipis para penyanyi, berkelap-kelip laksana riak sungai pada malam purnama. Hebatnya kotak kaca ajaib ini! Eddy Sud tidak lagi berwajah hijau, apalagi sampai barisan gigi atas dan bawahnya beda warna.

***



[1] Tempat keluarnya huruf
[2] Panjang pendek bacaan
[3] Makna umumnya pekerjaan yang tertunda, dalam hal ini bermakna posisi terakhir bacaan sebelumnya
[4] Istilah-istilah dalam hukum membaca Al Quran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool