Perkenalkan: Denny Syarif Karnasubrata.
Engkau mungkin sudah bisa menduga, ia bukan datang dari keluarga sembarangan.
Tidak setiap hari engkau bertemu dengan orang seperti ini. Jika engkau percaya bahwa tidak ada kebetulan dalam hidup dan bahwa
segala sesuatu terjadi karena alasan tertentu, pertemuan dengannya adalah
sebuah berkah. Engkau akan cukup beruntung jika di salah satu titik dalam perjalanan panjangmu di muka bumi ini
bertemu orang seperti dia.
Kami memanggilnya “Bapak”. Inilah orang
yang kelak banyak mewarnai kehidupanku.
Aku bertemu dengannya pertama kali di
suatu pagi yang hangat di rumah Haji Idris, tepat seminggu aku menyandang
status yatim piatu. Karena Umi dan Abah tak punya saudara dekat, semenjak hari
terjadinya gempa bumi itu Haji Idris meminta kepada Pak Dadun agar aku tinggal
sementara di rumahnya. Aku dengar Pak Dadun sendiri belum menempati rumahnya
karena khawatir terjadi sesuatu. Lagipun meski rumahnya tidak ambruk seperti
rumah kami, tetap memerlukan perbaikan dan pembersihan yang tidak sedikit.
Selama seminggu itu aku menyaksikan
kesibukan Haji Idris yang peci putihnya tak pernah lepas dari kepalanya
menerima tamu: Pak Dadun yang datang hampir tiap hari, Pak Warsidi guruku di
kelas lima, Pak RT, Sekretaris Desa yang aku lupa namanya, dan beberapa orang
lain yang tidak kukenal. Aku tidak terlalu memahami bahwa kesibukannya itu
berkaitan dengan nasibku. Tentang hal yang terakhir ini, sejujurnya aku belum
tahu apa yang akan kuperbuat dengannya. Lagipula apa sih yang bisa diperbuat anak yang belum lagi genap sebelas
tahun?
Pagi itu sudah berkumpul lima orang
dewasa di ruang tamu. Tuan rumah dan Pak Dadun duduk di kursi panjang dari
rotan membelakangi karpet Turki bergambar Ka’bah yang tergantung di dinding.
Pak RT dan Sekretaris Desa masing-masing menempati kursi kecil yang mengapit
mereka, sedang di seberang meja duduk seorang lelaki asing berpenampilan rapi dan sama sekali
tidak tampak seperti orang desa. Kurasa usianya 40—atau sekitar itulah, aku
memang tidak pandai menebak usia. Ia murah senyum, tampak sopan dan percaya
diri. Kulitnya putih dan badannya kelihatan sebagai orang yang rajin
berolahraga dan tak pernah kekurangan makanan bergizi. Meski dalam keadaan
duduk, aku bisa menebak ia lebih tinggi dari rata-rata orang di ruangan itu.
“Jang[1],
mari ke sini!” Haji Idris memanggilku.
Aku bergabung dengan kumpulan orang
dewasa itu dengan sedikit ragu. Penampilanku saat itu mestilah terlihat ganjil
bagi mereka: seorang anak kecil yang kebingungan dan pasrah, mengenakan kaus
dan celana pendek milik anak Haji Idris yang sudah duduk di SMP dan nyata-nyata
terlalu besar untuknya. Ah, tapi setidaknya prosesi dandanku terbilang istimewa
hari ini. Aku mandi dengan sabun wangi—di rumahku biasanya pakai sabun Cap
Tangan yang juga dipakai Umi untuk mencuci pakaian. Rambutku dikeramas dengan
sampo dari botol, bukan dari perasan daun wera[2]
atau rendaman merang bakar. Setelah mengenakan pakaian kedodoran itu di
tubuhku, istri Haji Idris masih juga membedaki wajahku dengan busa bulat yang membuatku
kelilipan. Fitri pasti terkikik lucu kalau tahu aku memakai bedak.
Aku duduk di antara Haji Idris dan Pak
Dadun dengan kepala menunduk. Haji Idris mengusap bahuku. “Jang,” ujarnya. “Ini
Pak Syarif. Mulai hari ini kamu akan tinggal bersamanya.”
Meski tidak dengan keyakinan penuh,
sejak awal sudah kuduga
hal ini. Ketika istri Haji Idris menyuruhku mandi lebih awal dan mendandaniku,
aku membaca sesuatu
yang istimewa hari ini. Seolah aku harus tampil lebih baik karena akan bertemu
orang penting. Dugaanku tentang nilai penting hari ini bertambah ketika dua
pejabat—Pak RT dan Sekretaris Desa—datang. Tapi rupanya bukan untuk dua orang
itu aku didandani, melainkan untuk orang kota berkulit cerah dengan penampilan
perlente di depanku ini. Dia tersenyum ramah padaku dan mengulurkan tangan.
Aku belum melewati masa berkabungku
dengan peristiwa minggu lalu. Ketika harus tinggal di rumah asing ini pun aku
berusaha untuk tidak banyak tanya dan mengikuti saja aliran nasib. Dalam
beberapa hari terakhir aku belajar makna ikhlas dan rido lebih banyak dari
sebelumnya. Gagasan tinggal di tengah keluarga orang lain yang masih sekampung mungkin
tidaklah terlalu buruk, tapi tinggal di rumah seorang kaya dari kota memberikan
perasaan cemas. Akankah aku betah tinggal di rumahnya nanti? Bisakah aku
menyesuaikan diri? Bagaimana kalau ternyata ia tidak menyukaiku atau siapa tahu
sebenarnya ia orang jahat?
Haji
Idris menyikutku. Ragu-ragu aku menerima uluran tangan Pak Syarif dan
menempelkan punggung tangannya di keningku. Ia
tersenyum senang dan mengusap kepalaku.
“Nanti di sana banyak anak seusiamu,” ia mengucapkan itu dalam
bahasa Sunda yang halus—hal yang agak mengagetkanku, karena sebelumnya kusangka
dia orang dari tempat jauh. Ia tahu aku sedang cemas dan berusaha membesarkan
hatiku.
Baiklah, jadi keluarganya besar. Banyak
anak seusiaku. Apakah mereka jahat seperti anak-anak orang kaya di buku cerita?
Ataukah mereka seperti Gepeng dan Maman?
“Mereka baik-baik, dan mereka pasti
senang kalau kamu bisa tinggal di sana.”
Aku menatapnya sekilas. Tak kusangka
orang kota ini ternyata seorang pembaca pikiran.
Ketika aku mengangguk sebagai tanda
setuju, seketika kudengar hembusan nafas lega dari hidung setiap orang yang ada
di ruangan itu. Ah, orang-orang dewasa ini. Mengapa pula mereka mesti
mengkhawatirkan sikapku? Seakan-akan aku sanggup menolak. Laksana layang-layang
putus, saat ini aku akan tunduk kepada siapa pun yang pertama menangkap taliku.
Apalah yang bisa diperbuat sebuah layang-layang putus selain menunggu seseorang
menyambungkan tali dan menerbangkannya kembali?
∞∞
Dengan perasaan bercampur-baur kuarahkan pandangan ke
luar jendela. Rumpun bambu berlarian ke belakang disusul oleh pohon-pohon
jagung yang mulai bertongkol. Kemudian tampak pohon aren yang dikerubuti
rerumputan tinggi, terkadang diselingi kebun sayuran dan tegalan. Ada juga satu
dua rumah yang dindingnya retak atau gentingnya tidak utuh akibat gempa minggu
lalu. Demikian terus berganti. Mobil yang kutumpangi bergerak pelahan,
memantul-mantul di atas jalanan berbatu, meninggalkan desaku. Tanpa suara aku
mengucapkan selamat tinggal pada saung di tengah sawah yang tampak di kejauhan,
pada sungai kecil tempat aku dan teman-teman mencari remis dan tutut,
pada pematang tempat kami berlari mengejar layang-layang. Tak pernah kuduga
harus meninggalkan semua itu sedemikian dini.
“Nama saya Denny Syarif. Namamu siapa?”
Aku menoleh ke arahnya, tapi tidak
berani menatap wajahnya. Karena sebuah alasan yang jelas, aku merasa senang
mendengar nama itu.
“Ahmad Rizki,” jawabku lega sambil
mengalihkan pandangan ke sangkar burung kecil tanpa isi yang ada di pangkuanku.
Waktu keluar rumah Haji Idris tadi, Gepeng sudah menunggu di luar dengan
sangkar bambu buatannya ini. Ia memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan. Maman dan beberapa teman yang lain, juga
Pak Warsidi, juga di sana untuk mengucapkan kata-kata perpisahan. Entah siapa yang memulai, mereka kompak menyanyikan “Pileuleuyan”
saat aku menyalami dan memeluk mereka satu per satu. Belum pernah kurasakan
lagu itu begitu menyayat seperti pagi tadi.
Lelaki yang baru kukenal satu jam yang
lalu itu melepaskan tangan kirinya dari kemudi dan mengusap-usap kepalaku.
“Nama yang bagus,” ujarnya sambil tersenyum.
Matahari bersinar cerah pagi itu,
kehangatannya tidak hanya menguapkan embun-embun di dedaunan, namun bahkan bisa
kurasakan sampai ke dalam dada. Orang-orang tua menyebut jam-jam seperti ini
sebagai wanci haneut moyan,
saat-saat yang menghangatkan untuk berjemur. Tapi bukan hanya sinar matahari
yang menghangatkan perasaanku saat ini. Sikap lelaki ini sedikit demi sedikit
menghilangkan ketegangan yang sempat mengikatku tadi.
Semula untuk naik mobilnya saja aku tertahan ragu. Ketika pintu mobil
dibukakan, aku seakan dihadapkan pada sebuah gerbang dunia yang
masih samar. Tak ada bayangan
apa yang akan kuhadapi begitu memasukinya.
Ini adalah pengalaman pertamaku merasakan duduk di sebuah
sedan. Aku merasa kursinya terlalu rendah sehingga harus memanjangkan leher
seperti kura-kura setiap kali ingin melihat jalanan di depan. Sebelum ini
pengalamanku naik angkot saja bisa dihitung dengan jari. Di atas mobil ini,
jalanan berbatu pun tidak terlalu menimbulkan bunyi dan hentakan yang
mengerikan seperti halnya angkot. Lalu dengarlah apa yang barusan dikatakan
lelaki ini. Coba engkau ingat-ingat dengan baik, berapa banyak orang dewasa
yang memperkenalkan namanya kepadamu ketika usiamu sebelas? Dalam usiaku, ini
adalah kali pertama. Dipujinya pula namaku. Seketika hatiku mengembang dan aku
merasa menjadi orang penting hanya dalam hitungan detik. Pandai sekali orang
ini memupus kecemasanku.
Kami memasuki jalanan beraspal. Mobil
meluncur mulus menuju Sukaraja.
“Mulai sekarang anggap saya sebagai
orang tuamu, ya. Kamu bisa panggil saya Bapak,” ia berkata lagi sambil sesekali menoleh ke arahku. Aku mengangguk
takzim, ia pun melanjutkan, “Kamu akan menjadi anak tertua di rumah. Sekarang
kamu kelas lima kan?”
Aku mengangguk lagi. “Saya akan tinggal
di mana?”
“Kita
akan tinggal di Selabintana,” ia memberi tekanan pada kata “kita”. Oh, jadi masih di Sukabumi,
pikirku. Berarti aku tidak akan pergi jauh. Kalau kampungku terletak di bagian
tenggara kota, Selabintana berada di sebelah utara, di kaki Gunung Gede. Kerap
kudengar nama itu sebagai tempat wisata. Yang terbayang tentang tempat itu
adalah hamparan hijau kebun teh berbukit-bukit, dibelah jalan berkelok-kelok.
“Kamu sekolah di sana juga. Saya sudah mendaftarkanmu di sana.”
“Ada berapa orang tinggal di sana?”
“Kamu
sekarang punya delapan adik. Saya dan Ibu sebagai pengganti orang tuamu. Selain
itu ada Mang Amir dan Bi Isah yang kini menjadi paman dan bibimu.” Aku terbelalak.
Luar biasa, kehilangan seorang adik,
kini mendapat delapan sebagai gantinya. Tiba-tiba pula aku punya dua pasang orang tua. Belum
tergambar di benakku bagaimana tanggapan mereka terhadapku nanti, tapi kabar bahwa aku memiliki keluarga besar seperti itu
membuatku diliputi perasaan gembira.
Memasuki kota, di sebuah perempatan
Bapak melambaikan tangan kepada seorang polisi yang sedang bertugas. Sang
polisi membalas lambaian itu sambil tersenyum. Kami berhenti di sebuah
pertokoan. Sebelum menuntunku masuk ke sebuah toko pakaian, Bapak sempat
bertegur sapa dengan juru parkir yang ada di sana. Beberapa potong kemeja,
kaus, celana, seragam sekolah dan sepasang sepatu dibelikannya untukku.
Kemudian Bapak membawaku ke toko di
sebelahnya. Di atas pintu tertulis “Toko Buku dan Peralatan Kantor ANUGRAH.”
Toko ini cukup lengkap. Buku bacaan dan majalah, alat-alat tulis, sampai mesin ketik dan sejenisnya.
Para pegawai yang bekerja di sana menyambut Bapak dengan ramah, mereka bertegur
sapa layaknya sudah saling mengenal. Bapak menulis sesuatu di atas kertas dan
memberikannya kepada seorang pegawai. Pegawai itu dengan sigap mengambil sebuah
tas sekolah, satu pak buku tulis yang masih dibundel plastik, sebuah buku
gambar, bolpen dua warna, pensil, pensil gambar, dan sebatang penggaris. Ketika
memasukkan benda-benda itu ke dalam tiga kantung plastik, dia bertanya pada
Bapak,
“Anak baru ya Pak? Dari mana?”
“Iya, ini Rizki. Dia dari Gegerbitung,”
jawab Bapak sambil menerima kantung-kantung plastik itu.
Aku tidak melihat Bapak membayar
belanjaan sebegitu banyak. Sebelum kami meninggalkan toko itu, ia hanya berkata
pada seorang pegawai yang duduk di belakang meja bertuliskan “KASIR”: “Dew,
catat ya. Itu daftarnya ada di Cepi.”
Siapa
sebenarnya orang ini? Punya
delapan anak dan kini mengangkatku sebagai
anaknya? Aku berusaha menghalau pertanyaan-pertanyaan itu, sebagian karena saat ini aku merasa dipenuhi limpahan kebahagiaan,
tapi terutama karena aku tak ingin merusak sensasi ini.
∞∞
Jalan Selabintana adalah jalan lurus
yang membentang dari pusat Kota Sukabumi ke arah utara, seolah ia memang
dirancang untuk menghantarkan setiap orang yang melaluinya ke gerbang Gunung
Gede. Sepanjang perjalanan tujuh kilometer itu, setiap meter adalah jalan
menanjak sehingga engkau akan terus disuguhi pemandangan gunung yang tertancap
gagah membentuk segitiga biru sama kaki. Pada hari cerah, bisa kaulihat tonjolan
dan lekukan eksotis gunung itu. Air terjun di
salah satu lerengnya membentuk garis putih vertikal yang nyata.
Ada yang mengusikku sepanjang perjalanan
menuju Selabintana. Bapak bertegur atau melambai pada setidaknya enam orang
yang dia temui di jalan. Selain petugas polisi dan juru parkir tadi, ia juga
melambai pada dua orang pengendara motor, dan dua orang pejalan kaki yang
berjalan berlawanan arah dengan kami. Apakah semua orang di kota ini mengenal
dia? Aku berusaha menyimpan pertanyaan itu. Tapi ketika ia melambai juga pada
seorang lelaki tua yang berjalan sambil memanggul keranjang berisi tumpukan
pisang, belenggu penasaranku lepas.
“Bapak kenal dia?”
“Tidak.”
Aku tercenung. Aku ingin meneruskan
pertanyaan, tapi kutahan karena khawatir akan terkesan tidak santun.
“Tidak ada salahnya kan meringankan
beban orang?” Bapak berkata sambil tersenyum.
Meringankan beban seseorang dengan cara
melambai padanya? Seumur-umur baru kudengar hal sedemikian.
“Kamu lihat kan, orang tadi itu harus
memikul keranjang yang berat untuk dibawa ke kota. Saat ini ia mungkin sedang
berusaha mengingat-ingat siapa yang barusan melambai padanya. Karena ia terus
memikirkannya, beban yang dipikulnya jadi tak begitu terasa. Sebelum ia bisa
mengingat Bapak, ia sudah sampai di pasar.”
Aku mengangguk pelan, kagum dengan
gagasan ganjil tersebut. Aku semakin mengerti maksud Bapak ketika ia
menghentikan mobil di depan dua orang yang berdiri di tepi jalan menanti
angkot. Ia menyapa kedua orang itu dan menanyakan ke mana mereka hendak pergi.
Begitu dikatakan bahwa tujuan mereka adalah Warung Ucup yang akan terlewati
dalam perjalanan, ia menawarkan
tumpangan kepada mereka. Kedua orang itu pun ikut bersama kami sampai tempat
yang dituju. Ketika turun berulang-ulang mereka mengucapkan terima kasih. Tanpa
Bapak menjelaskannya, aku belajar tentang butir pertama dalam tata tertib
menyetir: jika bertemu orang yang berlawanan arah melambailah, jika bertemu
yang searah berilah tumpangan.
Sebelum mencapai ujung Jalan
Selabintana, mobil berbelok kanan ke jalan yang lebih kecil. Tak sampai seratus
meter, kami berbelok lagi ke kiri melalui jalan kecil dengan jejeran pohon
pinus di kiri kanannya. Kemudian sampailah di gerbang sebuah rumah yang berdiri di lahan luas yang
membukit seperti punggung kura-kura. Sebuah rumah tua yang besar dan lebih
tampak seperti tempat peristirahatan pejabat zaman Belanda dulu. Bagian bawah
dinding luar dihiasi tempelan batu-batu kali yang dicat warna hitam. Sekitar
sepuluh meter di depan rumah berdiri kokoh sebuah pohon lengkeng bertajuk
rimbun. Pada dahan terbawahnya tergantung sebuah
ban bekas yang rupanya dipakai untuk ayunan.
Mobil berhenti di depan teras. Bapak
membuka pintu dan mengambil kantung plastik berisi belanjaan untukku. “Kita
sudah sampai.”
Sambil memeluk sangkar burung pemberian
Gepeng, aku tengadah memandang rumah itu. Rupanya inilah rumah yang sejak hari
ini akan menjadi tempat tinggalku. Ukurannya yang besar membuat tubuhku serasa
menciut beberapa senti. Aku seperti Don Kisot di hadapan kincir angin raksasa,
merasa terancam dengan kebesarannya. Terbiasa tinggal di rumah kecil dan hanya
pernah melihat rumah besar dari kejauhan tanpa pernah
terpikir untuk memasukinya, memunculkan lagi
keraguanku.
Bukan hanya mengancam dengan ukurannya,
rumah ini pun memperlihatkan sebuah keanehan. Pada plafon di atas teras
terdapat relief bertuliskan “Greta,” yang mungkin adalah namanya. Di kampungku,
ada seorang tukang adu ayam yang menamai setiap peliharaannya dengan nama-nama
aneh seperti Jango, Jungle Jim, Mannix, dan Desik (yang kuketahui kemudian
ternyata ditulisnya “The Six”, diambil dari The Six Million Dollar Man). Masih di kampungku, seorang tukang delman
menamai kudanya si Norton. Tapi di kampungku, tak pernah kujumpai rumah punya nama. Tak pernah pula
terpikir olehku bahwa sebuah rumah bisa
diberi nama.
Melihat aku mematung ragu, Bapak
menuntunku melangkah ke teras. Tanaman kucai-kucaian berdaun hijau dengan
tebaran bunga-bunga mungil berwarna putih membatasi teras berbentuk setengah
lingkaran itu dari halaman depan. Pada dua pilar yang menyangga plafon teras
merambat tanaman anting puteri, seakan sengaja membingkai bagian depan teras.
Bunga-bunga kecil warna merah bergelantungan manja
di sela-sela daun hijau tua.
Tepat ketika kami melangkah ke sana,
pintu rumah terbuka di tengah, bagian kiri kanannya bergeser menghilang di
balik tembok. Seorang wanita berjilbab berdiri di sana dengan senyum
mengembang. Aku terpana. Tak pernah kulihat wanita setinggi ini di kampungku.
Ia bahkan lebih tinggi dari rata-rata lelaki di sana. Wajahnya cantik dan
kulitnya cerah. Ia anggun seperti wanita
yang biasa berdiri di samping pejabat yang menggunting pita pada acara
peresmian gedung atau perayaan di kelurahan. Hanya saja rambutnya tidak
membumbung karena disasak.
“Bu, ini Rizki,” Bapak memperkenalkan
sembari memberi isyarat agar aku menyalaminya. Aku menurut dan menempelkan
punggung lengan wanita itu di keningku.
Di luar dugaan, wanita itu mencium
ubun-ubunku. Aku tersipu; tak pernah seorang asing melakukan hal itu padaku.
Bahkan Umi hanya melakukannya setahun sekali, pas Lebaran. Aku dibimbing masuk
ke ruang tamu. Mataku segera disuguhi galeri keasrian yang tidak kudapati di
rumah-rumah yang pernah kumasuki di kampung. Satu set kursi kayu jati tertata
di tengah, setiap lekukannya mengkilat memantulkan sinar matahari menjelang
siang yang menerobos jendela. Di sudut kanan terdapat meja bundar kecil yang
menopang sebuah vas bunga keramik berhiaskan
lukisan warna biru. Beberapa potong bunga aron[3]
berbentuk hati warna merah dan putih terangkai di dalam vas itu, dikelilingi oleh daun halus asparagus. Berseberangan
dengan pintu masuk, terdapat pintu geser lain. Kami melewati pintu tersebut dan
di baliknya terdapat ruangan yang lebih besar. Ada
pesawat televisi berkaki empat di salah satu sisinya. Beberapa
pintu terlihat di ruangan itu. Aku dituntun menuju pintu paling besar yang ternyata mengarah ke ruangan terbuka di bagian belakang rumah.
Di hadapanku kini terhampar halaman
berumput yang terawat rapi. Persis di tengahnya berdiri sebuah meja panjang
yang sangat menyita perhatian.
Kalau meja itu terbuat dari susunan kayu seperti biasa kulihat, tentunya tidak
akan membuatku terheran-heran. Meja yang kulihat sekarang ini terbuat dari satu
lempeng batu utuh. Panjangnya sekira dua meter. Tak habis pikir aku bagaimana orang menggergaji batu sampai
menjadi lempengan sedemikian panjang. Dua bangku panjang yang juga terbuat dari
batu ditempatkan di masing-masing sisi panjang meja itu. Sedang di sisi-sisi pendeknya tumbuh sejenis
tanaman perdu berbunga putih.
Dugaanku bahwa pintu terakhir yang
kulewati tadi adalah batas belakang rumah besar ini ternyata tidak tepat. Betul
bahwa di balik pintu itu ada halaman belakang, namun terdapat bangunan lain
yang mengelilingi halaman rumput tersebut, bersambung dengan bangunan utama.
Bangunan tambahan itu terdiri dari beberapa ruangan yang membentuk huruf U terbalik, berjejer seperti
ruang-ruang di sekolah. Di sebelah kiri terdapat sebuah ruangan terbuka yang
mudah dikenali sebagai dapur. Di sebelah kanan terbuat sebuah gerbang besi. Gerbang itu
terbuka sedikit sehingga aku bisa melihat lapangan rumput di baliknya.
Aku mengedarkan pandangan mencari
tanda-tanda keberadaan anak-anak lain.
“Adik-adikmu sedang sekolah.”
Lagi-lagi pikiranku terbaca. “Semua?”
aku bertanya.
“Kecuali Nurul. Dia belum sekolah.
Umurnya belum genap enam tahun.” Ia menoleh pada istrinya, “Nurul ke mana Bu?”
“Tadi ikut ibunya ke kebun,” wanita
cantik bertubuh tinggi itu menjawab. “Tidak lama kok, Bi Isah sedang menanak
nasi.”
Aku sedikit bingung dengan kata “ibunya”
ini. Dan untuk kesekian kalinya Bapak memahami kebingunganku.
“Nurul itu anaknya Bi Isah dan Mang
Amir,” katanya. Kemudian ia melanjutkan sambil menunjuk kantung belanjaan,
“Kita simpan ini di kamarmu.”
Kami berhenti di depan salah satu kamar
yang berjejer itu. Bapak berkata, “Nah, di sini kamarmu. Bersebelahan dengan
kamar Parlan.” Ia membuka pintu dan menyimpan kantung belanjaan di atas meja.
Selain meja, di kamar itu juga terdapat sebuah lemari kecil dan sebuah tempat
tidur. “Sekarang
kamu boleh ganti baju dulu.” Ia berkata demikian sambil keluar kamar diiringi
istrinya, meninggalkan aku sendirian.
Aku menyimpan sangkar burung di atas
meja lalu duduk di tepi tempat tidur. Pandanganku beredar ke setiap sudut kamar
dan berhenti sejenak pada jendela. Pemandangan sekilas di luar memancingku
untuk berjalan ke sana dan membukanya. Di balik kaca kulihat pemandangan berupa
kolam kecil, kebun berbedeng-bedeng dan kumpulan bermacam pohon seperti hutan
mini. Suasana di luar itu mengundang hadirnya
kepingan-kepingan perjalananku dalam seminggu terakhir
hingga sampai di tempat ini.
Begitu cepat nasib berputar. Baru
beberapa minggu ke
belakang aku berkelakar kepada Gepeng betapa datarnya kegiatan keseharian kami.
Pagi sekolah, siang sampai sore main ke sawah atau pinggiran hutan, selepas
Magrib mengaji di langgar; begitu setiap hari. Datar tanpa gejolak. Sama sekali
tidak istimewa. Kemudian tiba-tiba sebuah bencana membuatku sebatang kara. Aku seperti anak burung pipit
yang belum bisa terbang, tak berdaya menemukan sarang induknya. Aku kehilangan
pelindung dan kekuatan. Kesadaran bahwa
aku benar-benar sendirian, membuatku merasa terancam. Seakan ada bahaya yang bersembunyi dalam gelap, tak
kasat mata tak kasat telinga, mengendap-endap menunggu saatnya untuk
menyergapku. Tidak sempat terpikir olehku apa yang akan kumakan, di mana akan
tidur, atau bagaimana aku meneruskan sekolah. Yang kukhawatirkan adalah
bagaimana aku selamat dari ancaman itu. Aku begitu takutnya, sehingga sejak itu
hampir setiap saat, dalam setiap gerak kecilku, dalam keterbatasan khasanah
kata-kata, diam-diam aku berdoa. Memohon agar aku dijauhkan dari musibah
berkelanjutan. Jauh di dalam palung hati aku yakin Allah akan menjawab doaku.
Dan lihatlah kini. Seakan dengan
tiba-tiba, aku berada di kamar nyaman ini, memandang pepohonan di luar jendela.
Allah telah menunjukkan sinar kasih-Nya saat aku hanya bisa melihat kegelapan.
Sinar itu pelahan tapi meyakinkan semakin terang dan hangat. Dia telah mengirim
seseorang untuk membantu pipit ini belajar
terbang. Kekhawatiran itu dengan cepat sirna, dan aku merasa mendapat kekuatan
untuk menghadapi apa pun yang disiapkan takdir untukku esok hari.
“Rizki, sudah ganti?”
Aku terkaget mendengar suara Bapak di
luar. Mestilah aku melamun cukup lama barusan. Sambil menjawab, “Iya Pak,” aku
bergegas mengambil salah satu kaus dan celana pendek dari kantung belanja dan
mengenakannya dengan terburu-buru.
Aku berjalan di koridor melewati
kamar-kamar yang berjejer seperti ruangan-ruangan rumah sakit itu. Di depan
salah satu kamar aku menghirup aroma yang sangat wangi dan tajam, seperti aroma
kue atau parfum. Aku berhenti dan menarik nafas dalam-dalam ingin menikmati
aroma itu. Tapi suara Bapak kembali memecah perhatianku.
“Rizki, tuh ada Nurul.”
Di dapur seorang wanita tampak sedang
menyimpan sebuah keranjang berisi sayuran di dekat keran.
Seorang gadis kecil berdiri di belakangnya sambil menggenggam sekuntum bunga
jombang warna kuning. Dari belakang kuperhatikan rambut gadis kecil itu lurus, tebal
dan panjang, yang seketika mengingatkanku pada Fitri.
“Saya kira dia seusia adikmu.”
Bukan cuma seusia, batinku, rambutnya
pun mirip. Bapak memanggil anak itu. Dia berbalik dan mendekat. Aku terpana,
nyaris tak percaya dengan penglihatanku. Wajah gadis itu lonjong, persis wajah
Fitri. Mendadak aku merasa seakan menemukan kembali adikku yang meninggal
seminggu lalu. Hampir tidak ada beda rupa gadis kecil ini dengan adikku kecuali
mungkin satu giginya yang ompong.
“Nurul, beri salam sama Aa Rizki.”
Masih dengan menggenggam bunga jombang,
gadis itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Ya Allah, gigi depannya
ompong satu!
∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar