3. Sang Pembaca Pikiran


Perkenalkan: Denny Syarif Karnasubrata. Engkau mungkin sudah bisa menduga, ia bukan datang dari keluarga sembarangan. Tidak setiap hari engkau bertemu dengan orang seperti ini. Jika engkau percaya bahwa tidak ada kebetulan dalam hidup dan bahwa segala sesuatu terjadi karena alasan tertentu, pertemuan dengannya adalah sebuah berkah. Engkau akan cukup beruntung  jika di salah satu titik dalam perjalanan panjangmu di muka bumi ini bertemu orang seperti dia.
Kami memanggilnya “Bapak”. Inilah orang yang kelak banyak mewarnai kehidupanku.
Aku bertemu dengannya pertama kali di suatu pagi yang hangat di rumah Haji Idris, tepat seminggu aku menyandang status yatim piatu. Karena Umi dan Abah tak punya saudara dekat, semenjak hari terjadinya gempa bumi itu Haji Idris meminta kepada Pak Dadun agar aku tinggal sementara di rumahnya. Aku dengar Pak Dadun sendiri belum menempati rumahnya karena khawatir terjadi sesuatu. Lagipun meski rumahnya tidak ambruk seperti rumah kami, tetap memerlukan perbaikan dan pembersihan yang tidak sedikit.
Selama seminggu itu aku menyaksikan kesibukan Haji Idris yang peci putihnya tak pernah lepas dari kepalanya menerima tamu: Pak Dadun yang datang hampir tiap hari, Pak Warsidi guruku di kelas lima, Pak RT, Sekretaris Desa yang aku lupa namanya, dan beberapa orang lain yang tidak kukenal. Aku tidak terlalu memahami bahwa kesibukannya itu berkaitan dengan nasibku. Tentang hal yang terakhir ini, sejujurnya aku belum tahu apa yang akan kuperbuat dengannya. Lagipula apa sih yang bisa diperbuat anak yang belum lagi genap sebelas tahun?  
Pagi itu sudah berkumpul lima orang dewasa di ruang tamu. Tuan rumah dan Pak Dadun duduk di kursi panjang dari rotan membelakangi karpet Turki bergambar Ka’bah yang tergantung di dinding. Pak RT dan Sekretaris Desa masing-masing menempati kursi kecil yang mengapit mereka, sedang di seberang meja duduk seorang lelaki  asing berpenampilan rapi dan sama sekali tidak tampak seperti orang desa. Kurasa usianya 40—atau sekitar itulah, aku memang tidak pandai menebak usia. Ia murah senyum, tampak sopan dan percaya diri. Kulitnya putih dan badannya kelihatan sebagai orang yang rajin berolahraga dan tak pernah kekurangan makanan bergizi. Meski dalam keadaan duduk, aku bisa menebak ia lebih tinggi dari rata-rata orang di ruangan itu.
Jang[1], mari ke sini!” Haji Idris memanggilku.
Aku bergabung dengan kumpulan orang dewasa itu dengan sedikit ragu. Penampilanku saat itu mestilah terlihat ganjil bagi mereka: seorang anak kecil yang kebingungan dan pasrah, mengenakan kaus dan celana pendek milik anak Haji Idris yang sudah duduk di SMP dan nyata-nyata terlalu besar untuknya. Ah, tapi setidaknya prosesi dandanku terbilang istimewa hari ini. Aku mandi dengan sabun wangi—di rumahku biasanya pakai sabun Cap Tangan yang juga dipakai Umi untuk mencuci pakaian. Rambutku dikeramas dengan sampo dari botol, bukan dari perasan daun wera[2] atau rendaman merang bakar. Setelah mengenakan pakaian kedodoran itu di tubuhku, istri Haji Idris masih juga membedaki wajahku dengan busa bulat yang membuatku kelilipan. Fitri pasti terkikik lucu kalau tahu aku memakai bedak.
Aku duduk di antara Haji Idris dan Pak Dadun dengan kepala menunduk. Haji Idris mengusap bahuku. “Jang,” ujarnya. “Ini Pak Syarif. Mulai hari ini kamu akan tinggal bersamanya.”
Meski tidak dengan keyakinan penuh, sejak awal sudah kuduga hal ini. Ketika istri Haji Idris menyuruhku mandi lebih awal dan mendandaniku, aku membaca sesuatu yang istimewa hari ini. Seolah aku harus tampil lebih baik karena akan bertemu orang penting. Dugaanku tentang nilai penting hari ini bertambah ketika dua pejabat—Pak RT dan Sekretaris Desa—datang. Tapi rupanya bukan untuk dua orang itu aku didandani, melainkan untuk orang kota berkulit cerah dengan penampilan perlente di depanku ini. Dia tersenyum ramah padaku dan mengulurkan tangan.
Aku belum melewati masa berkabungku dengan peristiwa minggu lalu. Ketika harus tinggal di rumah asing ini pun aku berusaha untuk tidak banyak tanya dan mengikuti saja aliran nasib. Dalam beberapa hari terakhir aku belajar makna ikhlas dan rido lebih banyak dari sebelumnya. Gagasan tinggal di tengah keluarga orang lain yang masih sekampung mungkin tidaklah terlalu buruk, tapi tinggal di rumah seorang kaya dari kota memberikan perasaan cemas. Akankah aku betah tinggal di rumahnya nanti? Bisakah aku menyesuaikan diri? Bagaimana kalau ternyata ia tidak menyukaiku atau siapa tahu sebenarnya ia orang jahat?
Haji Idris menyikutku. Ragu-ragu aku menerima uluran tangan Pak Syarif dan menempelkan punggung tangannya di keningku. Ia tersenyum senang dan mengusap kepalaku.
“Nanti di sana banyak anak seusiamu,” ia mengucapkan itu dalam bahasa Sunda yang halus—hal yang agak mengagetkanku, karena sebelumnya kusangka dia orang dari tempat jauh. Ia tahu aku sedang cemas dan berusaha membesarkan hatiku.
Baiklah, jadi keluarganya besar. Banyak anak seusiaku. Apakah mereka jahat seperti anak-anak orang kaya di buku cerita? Ataukah mereka seperti Gepeng dan Maman?
“Mereka baik-baik, dan mereka pasti senang kalau kamu bisa tinggal di sana.”
Aku menatapnya sekilas. Tak kusangka orang kota ini ternyata seorang pembaca pikiran.
Ketika aku mengangguk sebagai tanda setuju, seketika kudengar hembusan nafas lega dari hidung setiap orang yang ada di ruangan itu. Ah, orang-orang dewasa ini. Mengapa pula mereka mesti mengkhawatirkan sikapku? Seakan-akan aku sanggup menolak. Laksana layang-layang putus, saat ini aku akan tunduk kepada siapa pun yang pertama menangkap taliku. Apalah yang bisa diperbuat sebuah layang-layang putus selain menunggu seseorang menyambungkan tali dan menerbangkannya kembali?
∞∞
Dengan perasaan bercampur-baur kuarahkan pandangan ke luar jendela. Rumpun bambu berlarian ke belakang disusul oleh pohon-pohon jagung yang mulai bertongkol. Kemudian tampak pohon aren yang dikerubuti rerumputan tinggi, terkadang diselingi kebun sayuran dan tegalan. Ada juga satu dua rumah yang dindingnya retak atau gentingnya tidak utuh akibat gempa minggu lalu. Demikian terus berganti. Mobil yang kutumpangi bergerak pelahan, memantul-mantul di atas jalanan berbatu, meninggalkan desaku. Tanpa suara aku mengucapkan selamat tinggal pada saung di tengah sawah yang tampak di kejauhan, pada sungai kecil tempat aku dan teman-teman mencari remis dan tutut, pada pematang tempat kami berlari mengejar layang-layang. Tak pernah kuduga harus meninggalkan semua itu sedemikian dini.
“Nama saya Denny Syarif. Namamu siapa?”
Aku menoleh ke arahnya, tapi tidak berani menatap wajahnya. Karena sebuah alasan yang jelas, aku merasa senang mendengar nama itu.
“Ahmad Rizki,” jawabku lega sambil mengalihkan pandangan ke sangkar burung kecil tanpa isi yang ada di pangkuanku. Waktu keluar rumah Haji Idris tadi, Gepeng sudah menunggu di luar dengan sangkar bambu buatannya ini. Ia memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan. Maman dan beberapa teman yang lain, juga Pak Warsidi, juga di sana untuk mengucapkan kata-kata perpisahan. Entah siapa yang memulai, mereka kompak menyanyikan “Pileuleuyan” saat aku menyalami dan memeluk mereka satu per satu. Belum pernah kurasakan lagu itu begitu menyayat seperti pagi tadi.
Lelaki yang baru kukenal satu jam yang lalu itu melepaskan tangan kirinya dari kemudi dan mengusap-usap kepalaku. “Nama yang bagus,” ujarnya sambil tersenyum.
Matahari bersinar cerah pagi itu, kehangatannya tidak hanya menguapkan embun-embun di dedaunan, namun bahkan bisa kurasakan sampai ke dalam dada. Orang-orang tua menyebut jam-jam seperti ini sebagai wanci haneut moyan, saat-saat yang menghangatkan untuk berjemur. Tapi bukan hanya sinar matahari yang menghangatkan perasaanku saat ini. Sikap lelaki ini sedikit demi sedikit menghilangkan ketegangan yang sempat mengikatku tadi. Semula untuk naik mobilnya saja aku tertahan ragu. Ketika pintu mobil dibukakan, aku seakan dihadapkan pada sebuah gerbang dunia yang masih samar. Tak ada bayangan apa yang akan kuhadapi begitu memasukinya.
Ini adalah pengalaman pertamaku merasakan duduk di sebuah sedan. Aku merasa kursinya terlalu rendah sehingga harus memanjangkan leher seperti kura-kura setiap kali ingin melihat jalanan di depan. Sebelum ini pengalamanku naik angkot saja bisa dihitung dengan jari. Di atas mobil ini, jalanan berbatu pun tidak terlalu menimbulkan bunyi dan hentakan yang mengerikan seperti halnya angkot. Lalu dengarlah apa yang barusan dikatakan lelaki ini. Coba engkau ingat-ingat dengan baik, berapa banyak orang dewasa yang memperkenalkan namanya kepadamu ketika usiamu sebelas? Dalam usiaku, ini adalah kali pertama. Dipujinya pula namaku. Seketika hatiku mengembang dan aku merasa menjadi orang penting hanya dalam hitungan detik. Pandai sekali orang ini memupus kecemasanku.
Kami memasuki jalanan beraspal. Mobil meluncur mulus menuju Sukaraja.
“Mulai sekarang anggap saya sebagai orang tuamu, ya. Kamu bisa panggil saya Bapak,” ia berkata lagi sambil sesekali menoleh ke arahku. Aku mengangguk takzim, ia pun melanjutkan, “Kamu akan menjadi anak tertua di rumah. Sekarang kamu kelas lima kan?” 
Aku mengangguk lagi. “Saya akan tinggal di mana?”
Kita akan tinggal di Selabintana,” ia memberi tekanan pada kata “kita”. Oh, jadi masih di Sukabumi, pikirku. Berarti aku tidak akan pergi jauh. Kalau kampungku terletak di bagian tenggara kota, Selabintana berada di sebelah utara, di kaki Gunung Gede. Kerap kudengar nama itu sebagai tempat wisata. Yang terbayang tentang tempat itu adalah hamparan hijau kebun teh berbukit-bukit, dibelah jalan berkelok-kelok. “Kamu sekolah di sana juga. Saya sudah mendaftarkanmu di sana.”
“Ada berapa orang tinggal di sana?”
“Kamu sekarang punya delapan adik. Saya dan Ibu sebagai pengganti orang tuamu. Selain itu ada Mang Amir dan Bi Isah yang kini menjadi paman dan bibimu.” Aku terbelalak. Luar biasa, kehilangan seorang adik, kini mendapat delapan sebagai gantinya. Tiba-tiba pula aku punya dua pasang orang tua. Belum tergambar di benakku bagaimana tanggapan mereka terhadapku nanti, tapi kabar bahwa aku memiliki keluarga besar seperti itu membuatku diliputi perasaan gembira.
Memasuki kota, di sebuah perempatan Bapak melambaikan tangan kepada seorang polisi yang sedang bertugas. Sang polisi membalas lambaian itu sambil tersenyum. Kami berhenti di sebuah pertokoan. Sebelum menuntunku masuk ke sebuah toko pakaian, Bapak sempat bertegur sapa dengan juru parkir yang ada di sana. Beberapa potong kemeja, kaus, celana, seragam sekolah dan sepasang sepatu dibelikannya untukku.
Kemudian Bapak membawaku ke toko di sebelahnya. Di atas pintu tertulis “Toko Buku dan Peralatan Kantor ANUGRAH.” Toko ini cukup lengkap. Buku bacaan dan majalah, alat-alat  tulis, sampai mesin ketik dan sejenisnya. Para pegawai yang bekerja di sana menyambut Bapak dengan ramah, mereka bertegur sapa layaknya sudah saling mengenal. Bapak menulis sesuatu di atas kertas dan memberikannya kepada seorang pegawai. Pegawai itu dengan sigap mengambil sebuah tas sekolah, satu pak buku tulis yang masih dibundel plastik, sebuah buku gambar, bolpen dua warna, pensil, pensil gambar, dan sebatang penggaris. Ketika memasukkan benda-benda itu ke dalam tiga kantung plastik, dia bertanya pada Bapak,
“Anak baru ya Pak? Dari mana?”
“Iya, ini Rizki. Dia dari Gegerbitung,” jawab Bapak sambil menerima kantung-kantung plastik itu.
Aku tidak melihat Bapak membayar belanjaan sebegitu banyak. Sebelum kami meninggalkan toko itu, ia hanya berkata pada seorang pegawai yang duduk di belakang meja bertuliskan “KASIR”: “Dew, catat ya. Itu daftarnya ada di Cepi.”
Siapa sebenarnya orang ini? Punya delapan anak dan kini mengangkatku sebagai anaknya? Aku berusaha menghalau pertanyaan-pertanyaan itu, sebagian karena saat ini aku merasa dipenuhi limpahan kebahagiaan, tapi terutama karena aku tak ingin merusak sensasi ini.
  ∞∞
Jalan Selabintana adalah jalan lurus yang membentang dari pusat Kota Sukabumi ke arah utara, seolah ia memang dirancang untuk menghantarkan setiap orang yang melaluinya ke gerbang Gunung Gede. Sepanjang perjalanan tujuh kilometer itu, setiap meter adalah jalan menanjak sehingga engkau akan terus disuguhi pemandangan gunung yang tertancap gagah membentuk segitiga biru sama kaki. Pada hari cerah, bisa kaulihat tonjolan dan lekukan eksotis gunung itu. Air terjun di salah satu lerengnya membentuk garis putih vertikal yang nyata.
Ada yang mengusikku sepanjang perjalanan menuju Selabintana. Bapak bertegur atau melambai pada setidaknya enam orang yang dia temui di jalan. Selain petugas polisi dan juru parkir tadi, ia juga melambai pada dua orang pengendara motor, dan dua orang pejalan kaki yang berjalan berlawanan arah dengan kami. Apakah semua orang di kota ini mengenal dia? Aku berusaha menyimpan pertanyaan itu. Tapi ketika ia melambai juga pada seorang lelaki tua yang berjalan sambil memanggul keranjang berisi tumpukan pisang, belenggu penasaranku lepas.
“Bapak kenal dia?”
“Tidak.”
Aku tercenung. Aku ingin meneruskan pertanyaan, tapi kutahan karena khawatir akan terkesan tidak santun.
“Tidak ada salahnya kan meringankan beban orang?” Bapak berkata sambil tersenyum.
Meringankan beban seseorang dengan cara melambai padanya? Seumur-umur baru kudengar hal sedemikian.
“Kamu lihat kan, orang tadi itu harus memikul keranjang yang berat untuk dibawa ke kota. Saat ini ia mungkin sedang berusaha mengingat-ingat siapa yang barusan melambai padanya. Karena ia terus memikirkannya, beban yang dipikulnya jadi tak begitu terasa. Sebelum ia bisa mengingat Bapak, ia sudah sampai di pasar.”
Aku mengangguk pelan, kagum dengan gagasan ganjil tersebut. Aku semakin mengerti maksud Bapak ketika ia menghentikan mobil di depan dua orang yang berdiri di tepi jalan menanti angkot. Ia menyapa kedua orang itu dan menanyakan ke mana mereka hendak pergi. Begitu dikatakan bahwa tujuan mereka adalah Warung Ucup yang akan terlewati dalam  perjalanan, ia menawarkan tumpangan kepada mereka. Kedua orang itu pun ikut bersama kami sampai tempat yang dituju. Ketika turun berulang-ulang mereka mengucapkan terima kasih. Tanpa Bapak menjelaskannya, aku belajar tentang butir pertama dalam tata tertib menyetir: jika bertemu orang yang berlawanan arah melambailah, jika bertemu yang searah berilah tumpangan.
Sebelum mencapai ujung Jalan Selabintana, mobil berbelok kanan ke jalan yang lebih kecil. Tak sampai seratus meter, kami berbelok lagi ke kiri melalui jalan kecil dengan jejeran pohon pinus di kiri kanannya. Kemudian sampailah di gerbang sebuah rumah yang berdiri di lahan luas yang membukit seperti punggung kura-kura. Sebuah rumah tua yang besar dan lebih tampak seperti tempat peristirahatan pejabat zaman Belanda dulu. Bagian bawah dinding luar dihiasi tempelan batu-batu kali yang dicat warna hitam. Sekitar sepuluh meter di depan rumah berdiri kokoh sebuah pohon lengkeng bertajuk rimbun. Pada dahan terbawahnya tergantung sebuah ban bekas yang rupanya dipakai untuk ayunan.
Mobil berhenti di depan teras. Bapak membuka pintu dan mengambil kantung plastik berisi belanjaan untukku. “Kita sudah sampai.”
Sambil memeluk sangkar burung pemberian Gepeng, aku tengadah memandang rumah itu. Rupanya inilah rumah yang sejak hari ini akan menjadi tempat tinggalku. Ukurannya yang besar membuat tubuhku serasa menciut beberapa senti. Aku seperti Don Kisot di hadapan kincir angin raksasa, merasa terancam dengan kebesarannya. Terbiasa tinggal di rumah kecil dan hanya pernah melihat rumah besar dari kejauhan tanpa pernah terpikir untuk memasukinya, memunculkan lagi keraguanku.
Bukan hanya mengancam dengan ukurannya, rumah ini pun memperlihatkan sebuah keanehan. Pada plafon di atas teras terdapat relief bertuliskan “Greta,” yang mungkin adalah namanya. Di kampungku, ada seorang tukang adu ayam yang menamai setiap peliharaannya dengan nama-nama aneh seperti Jango, Jungle Jim, Mannix, dan Desik (yang kuketahui kemudian ternyata ditulisnya “The Six”, diambil dari The Six Million Dollar Man). Masih di kampungku, seorang tukang delman menamai kudanya si Norton. Tapi di kampungku, tak pernah kujumpai rumah punya nama. Tak pernah pula terpikir olehku bahwa sebuah rumah bisa diberi nama.
Melihat aku mematung ragu, Bapak menuntunku melangkah ke teras. Tanaman kucai-kucaian berdaun hijau dengan tebaran bunga-bunga mungil berwarna putih membatasi teras berbentuk setengah lingkaran itu dari halaman depan. Pada dua pilar yang menyangga plafon teras merambat tanaman anting puteri, seakan sengaja membingkai bagian depan teras. Bunga-bunga kecil warna merah bergelantungan manja di sela-sela daun hijau tua.
Tepat ketika kami melangkah ke sana, pintu rumah terbuka di tengah, bagian kiri kanannya bergeser menghilang di balik tembok. Seorang wanita berjilbab berdiri di sana dengan senyum mengembang. Aku terpana. Tak pernah kulihat wanita setinggi ini di kampungku. Ia bahkan lebih tinggi dari rata-rata lelaki di sana. Wajahnya cantik dan kulitnya cerah. Ia anggun seperti wanita yang biasa berdiri di samping pejabat yang menggunting pita pada acara peresmian gedung atau perayaan di kelurahan. Hanya saja rambutnya tidak membumbung karena disasak.
“Bu, ini Rizki,” Bapak memperkenalkan sembari memberi isyarat agar aku menyalaminya. Aku menurut dan menempelkan punggung lengan wanita itu di keningku.
Di luar dugaan, wanita itu mencium ubun-ubunku. Aku tersipu; tak pernah seorang asing melakukan hal itu padaku. Bahkan Umi hanya melakukannya setahun sekali, pas Lebaran. Aku dibimbing masuk ke ruang tamu. Mataku segera disuguhi galeri keasrian yang tidak kudapati di rumah-rumah yang pernah kumasuki di kampung. Satu set kursi kayu jati tertata di tengah, setiap lekukannya mengkilat memantulkan sinar matahari menjelang siang yang menerobos jendela. Di sudut kanan terdapat meja bundar kecil yang menopang sebuah vas bunga keramik berhiaskan lukisan warna biru. Beberapa potong bunga aron[3] berbentuk hati warna merah dan putih terangkai di dalam vas itu, dikelilingi oleh daun halus asparagus. Berseberangan dengan pintu masuk, terdapat pintu geser lain. Kami melewati pintu tersebut dan di baliknya terdapat ruangan yang lebih besar. Ada pesawat televisi berkaki empat di salah satu sisinya. Beberapa pintu terlihat di ruangan itu. Aku dituntun menuju pintu paling besar yang ternyata mengarah ke ruangan terbuka di bagian belakang rumah.
Di hadapanku kini terhampar halaman berumput yang terawat rapi. Persis di tengahnya berdiri sebuah meja panjang yang sangat menyita perhatian. Kalau meja itu terbuat dari susunan kayu seperti biasa kulihat, tentunya tidak akan membuatku terheran-heran. Meja yang kulihat sekarang ini terbuat dari satu lempeng batu utuh. Panjangnya sekira dua meter. Tak habis pikir aku bagaimana orang menggergaji batu sampai menjadi lempengan sedemikian panjang. Dua bangku panjang yang juga terbuat dari batu ditempatkan di masing-masing sisi panjang meja itu. Sedang di sisi-sisi pendeknya tumbuh sejenis tanaman perdu berbunga putih.
Dugaanku bahwa pintu terakhir yang kulewati tadi adalah batas belakang rumah besar ini ternyata tidak tepat. Betul bahwa di balik pintu itu ada halaman belakang, namun terdapat bangunan lain yang mengelilingi halaman rumput tersebut, bersambung dengan bangunan utama. Bangunan tambahan itu terdiri dari beberapa ruangan yang membentuk huruf U terbalik, berjejer seperti ruang-ruang di sekolah. Di sebelah kiri terdapat sebuah ruangan terbuka yang mudah dikenali sebagai dapur. Di sebelah kanan terbuat sebuah gerbang besi. Gerbang itu terbuka sedikit sehingga aku bisa melihat lapangan rumput di baliknya.
Aku mengedarkan pandangan mencari tanda-tanda keberadaan anak-anak lain.
“Adik-adikmu sedang sekolah.”
Lagi-lagi pikiranku terbaca. “Semua?” aku bertanya.
“Kecuali Nurul. Dia belum sekolah. Umurnya belum genap enam tahun.” Ia menoleh pada istrinya, “Nurul ke mana Bu?”
“Tadi ikut ibunya ke kebun,” wanita cantik bertubuh tinggi itu menjawab. “Tidak lama kok, Bi Isah sedang menanak nasi.”
Aku sedikit bingung dengan kata “ibunya” ini. Dan untuk kesekian kalinya Bapak memahami kebingunganku.
“Nurul itu anaknya Bi Isah dan Mang Amir,” katanya. Kemudian ia melanjutkan sambil menunjuk kantung belanjaan, “Kita simpan ini di kamarmu.”
Kami berhenti di depan salah satu kamar yang berjejer itu. Bapak berkata, “Nah, di sini kamarmu. Bersebelahan dengan kamar Parlan.” Ia membuka pintu dan menyimpan kantung belanjaan di atas meja. Selain meja, di kamar itu juga terdapat sebuah lemari kecil dan sebuah tempat tidur. “Sekarang kamu boleh ganti baju dulu.” Ia berkata demikian sambil keluar kamar diiringi istrinya, meninggalkan aku sendirian.
Aku menyimpan sangkar burung di atas meja lalu duduk di tepi tempat tidur. Pandanganku beredar ke setiap sudut kamar dan berhenti sejenak pada jendela. Pemandangan sekilas di luar memancingku untuk berjalan ke sana dan membukanya. Di balik kaca kulihat pemandangan berupa kolam kecil, kebun berbedeng-bedeng dan kumpulan bermacam pohon seperti hutan mini. Suasana di luar itu mengundang hadirnya kepingan-kepingan perjalananku dalam seminggu terakhir hingga sampai di tempat ini.
Begitu cepat nasib berputar. Baru beberapa minggu ke belakang aku berkelakar kepada Gepeng betapa datarnya kegiatan keseharian kami. Pagi sekolah, siang sampai sore main ke sawah atau pinggiran hutan, selepas Magrib mengaji di langgar; begitu setiap hari. Datar tanpa gejolak. Sama sekali tidak istimewa. Kemudian tiba-tiba sebuah bencana membuatku sebatang kara. Aku seperti anak burung pipit yang belum bisa terbang, tak berdaya menemukan sarang induknya. Aku kehilangan pelindung dan kekuatan. Kesadaran bahwa aku benar-benar sendirian, membuatku merasa terancam. Seakan ada bahaya yang bersembunyi dalam gelap, tak kasat mata tak kasat telinga, mengendap-endap menunggu saatnya untuk menyergapku. Tidak sempat terpikir olehku apa yang akan kumakan, di mana akan tidur, atau bagaimana aku meneruskan sekolah. Yang kukhawatirkan adalah bagaimana aku selamat dari ancaman itu. Aku begitu takutnya, sehingga sejak itu hampir setiap saat, dalam setiap gerak kecilku, dalam keterbatasan khasanah kata-kata, diam-diam aku berdoa. Memohon agar aku dijauhkan dari musibah berkelanjutan. Jauh di dalam palung hati aku yakin Allah akan menjawab doaku.
Dan lihatlah kini. Seakan dengan tiba-tiba, aku berada di kamar nyaman ini, memandang pepohonan di luar jendela. Allah telah menunjukkan sinar kasih-Nya saat aku hanya bisa melihat kegelapan. Sinar itu pelahan tapi meyakinkan semakin terang dan hangat. Dia telah mengirim seseorang untuk membantu pipit ini belajar terbang. Kekhawatiran itu dengan cepat sirna, dan aku merasa mendapat kekuatan untuk menghadapi apa pun yang disiapkan takdir untukku esok hari.
“Rizki, sudah ganti?”
Aku terkaget mendengar suara Bapak di luar. Mestilah aku melamun cukup lama barusan. Sambil menjawab, “Iya Pak,” aku bergegas mengambil salah satu kaus dan celana pendek dari kantung belanja dan mengenakannya dengan terburu-buru.
Aku berjalan di koridor melewati kamar-kamar yang berjejer seperti ruangan-ruangan rumah sakit itu. Di depan salah satu kamar aku menghirup aroma yang sangat wangi dan tajam, seperti aroma kue atau parfum. Aku berhenti dan menarik nafas dalam-dalam ingin menikmati aroma itu. Tapi suara Bapak kembali memecah perhatianku.
“Rizki, tuh ada Nurul.”
Di dapur seorang wanita tampak sedang menyimpan sebuah keranjang berisi sayuran di dekat keran. Seorang gadis kecil berdiri di belakangnya sambil menggenggam sekuntum bunga jombang warna kuning. Dari belakang kuperhatikan rambut gadis kecil itu lurus, tebal dan panjang, yang seketika mengingatkanku pada Fitri.
“Saya kira dia seusia adikmu.”
Bukan cuma seusia, batinku, rambutnya pun mirip. Bapak memanggil anak itu. Dia berbalik dan mendekat. Aku terpana, nyaris tak percaya dengan penglihatanku. Wajah gadis itu lonjong, persis wajah Fitri. Mendadak aku merasa seakan menemukan kembali adikku yang meninggal seminggu lalu. Hampir tidak ada beda rupa gadis kecil ini dengan adikku kecuali mungkin satu giginya yang ompong. 
“Nurul, beri salam sama Aa Rizki.”
Masih dengan menggenggam bunga jombang, gadis itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Ya Allah, gigi depannya ompong satu!
∞∞




[1] Panggilan untuk anak lelaki, kependekan dari “Ujang”.
[2] Kembang sepatu (Hibiscus)
[3] Sejenis Anthurium

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool