2. Tinggi Pengalamannya, Dalam Ilmunya



Di kampungku di daerah Gegerbitung, Sukabumi, jika penduduk memerlukan tenaga berpengalaman untuk memetik kelapa, mereka tahu siapa yang harus dipanggil. Mereka menyebutnya Kang Badru, orang yang terkenal paling lihay dalam perkara petik-memetik buah kelapa. Perawakannya kecil tapi otot-otonya kuat dan liat, gerak-geriknya ligat. Siapa pun yang menyerahkan pekerjaan padanya bisa duduk dengan nyaman dan tersenyum lebar mendapat hasil yang memuaskan.
Hampir setiap hari permintaan memetik itu datang dari mana-mana, mulai dari tetangga dekat sampai kampung sebelah. Dari orang yang hanya punya satu-satunya pohon kelapa di halaman sampai orang yang memang berkebun kelapa berpetak-petak. Sekali dua ada juga order untuk menebang pohon, entah karena sudah malas berbuah, pohonnya mati tersambar petir, atau karena si empunya memerlukan batangnya untuk digunakan sebagai jembatan atau tiang rumah. Dia bisa melaksanakan tugas penebangan agar batang bisa seutuh mungkin tiba di tanah dan dengan korban—biasanya berupa tanaman di sekitarnya—yang sangat kecil. Dengan reputasi tak diragukan selama belasan tahun karirnya memanjat pohon kelapa, ia dijuluki sebagai orang yang berpengalaman tinggi. Setinggi pohon kelapa.
Satu-satunya saat dia tidak menerima pesanan memetik kelapa adalah ketika sedang menggali sumur, profesinya yang kedua. Pembuatan sumur tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Salah-salah pemberi kerja akan mendapati tanahnya bolong-bolong karena penggali tak kunjung mendapatkan titik yang tepat. Sang pakar penggali sumur dengan insting dan pengalamannya bisa mengindera di mana titik penggalian harus dilakukan agar sumur yang dibuat tidak terlalu dalam dan air yang dikeluarkannya jernih. Tak jarang pemilik harus menata ulang ruang-ruang di rumahnya karena titik terbaik untuk penggalian sumur berada di lokasi yang semula direncanakan untuk keperluan lain. Di daerah di mana sumur menjadi satu-satunya sumber air bersih, orang rela membayar lebih untuk memiliki sebuah sumur.
Dengan keahliannya memilih titik yang tepat dan melakukan penggalian sumur ini, ia pun mendapat julukan sebagai orang yang ilmunya dalam, sedalam sumur.
∞∞
Tanggal 7 Agustus 1988 di satu titik dalam perut bumi, Allah menakdirkan lapisan kerak bergeser beberapa sentimeter. Puluhan kilometer di atasnya, bumi Gegerbitung berguncang hebat. Kehidupan sehari-hari di wilayah ini biasanya tenang, bahkan cenderung sunyi. Suara motor lewat pun akan membuat penduduk menoleh ke jalan. Guncangan akibat gempa hari itu   menimbulkan kehebohan besar. Peristiwa itu tercatat dalam sejarah sebagai salah satu gempa terbesar di Sukabumi. Getarannya terdeteksi sampai radius lebih dari seratus kilometer. Akibat gempa itu banyak rumah hancur dan tanah longsor di beberapa lokasi.
Detik ketika peristiwa itu terjadi, tokoh kita yang berpengalaman tinggi dan berpengetahuan dalam ini sedang bergelantung di atas pohon kelapa milik Haji Idris. Orang yang disebut terakhir ini memiliki sebidang sawah yang berbatasan dengan sungai. Di pinggir sungai itulah dia menanam selusin pohon kelapa yang berfungsi menahan tanah agar tidak tergerus aliran sungai. Kedua belas pohon kelapa itu berjejer laksana barisan penjaga. Sang pemetik kelapa sudah menggarap lima pohon—puluhan buah kelapa menumpuk di atas tanah menyerupai piramid—dan baru sampai di puncak pohon keenam. Ia sedang dengan tangkas memutar buah kelapa agar tangkainya putus dari manggar ketika tiba-tiba pohon yang dinaikinya bergoyang cepat. Seketika ia mafhum bukan angin yang menyebabkan goyangan itu. Kejadian ini bukanlah pengalaman pertama baginya. Beberapa tahun silam ia juga sedang berada di atas pohon kelapa ketika terjadi gempa bumi. Saat itu dengan sigap dia memeluk erat batang pohon hingga goyangan mereda. Yang mengagumkan sekaligus mengherankan, menurut ceritanya sendiri, setelah gempa berhenti ia bukannya turun menenangkan atau menyelamatkan diri melainkan terus melanjutkan pekerjaannya. Tak ayal peristiwa itu menjadi buah bibir orang sekampung. Setelah beberapa tahun berselang kisah itu sesekali masih terdengar dalam obrolan di pos ronda atau warung kopi. Pemanjat kelapa itu nyaris menjadi legenda kampung.
Sebagai orang yang pengalamannya tinggi dan ilmunya dalam, kali ini pun dia tahu apa yang harus dilakukan: memeluk batang kelapa erat-erat seperti bunglon memeluk tangkai pohon. Yang dia tidak tahu adalah bahwa gempa kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Rentang ayunan pohon kelapa lebih jauh dan goyangannya lebih keras, mirip kembang goyang di sanggul pengantin. Ketika detik-detik menegangkan itu hampir berlalu dan batang kelapa menuju titik keseimbangan, ia menyangka nasib baik kembali berpihak padanya. Tapi kemudian pelahan-lahan pohon itu condong ke satu sisi, ke arah sungai. Kemiringannya semakin lama semakin tajam. Gempa telah mengakibatkan retakan di tanah dan karena pohon itu berada di tebing pinggir sungai, akar serabut yang biasanya mencengkeram tidak sanggup lagi menopang batang yang berat. Saat ujung pohon akhirnya berdebum keras di tepi seberang sungai, sang pemetik kelapa paling berpengalaman itu tak kuasa mempertahankan pelukannya dan terpental ke dasar sungai dangkal yang dipenuhi bebatuan. Seketika ia jatuh pingsan.  
∞∞
Pak Dadun tetangga dekat kami mendapatiku sedang mencakar tanah sambil berteriak-teriak kesetanan. Ia bergegas ke arahku dan berusaha memelukku dari belakang. Untuk beberapa saat aku meronta dan terus menggali. Tapi tenagaku kalah kuat. Akhirnya aku terkulai lemas dan pasrah ketika dia mengangkat dan membopongku menuju rumahnya. Selama hampir setengah jam aku menggali tanah dengan kedua tanganku, tak kurasakan sedikit pun sakit di ujung-ujung jariku. Tak setetes pun air mata jatuh. Tapi begitu berada di bopongan tetanggaku ini aku merasakan pipiku basah dan hangat; dadaku berguncang-guncang menahan suara tangis. Kuku-kuku tanganku terasa sakit dan panas.
 Bangunan rumah Pak Dadun masih terlihat sosoknya, hanya dapur di bagian belakang yang tertutup gundukan tanah. Aku dibawa ke halaman rumahnya dan didudukkan di rerumputan. Di sana juga tengah duduk istrinya yang berulang-ulang mengucapkan istigfar sambil memeluk kedua anak mereka yang masih kecil dan tak hentinya menangis. Rupanya keluarga ini tidak sedang berada di rumah ketika gempa yang disusul longsor itu terjadi. Mereka baru saja pulang.
Selang beberapa menit ramai orang berdatangan ke rumah Pak Dadun. Suasana berubah  hiruk-pikuk membuat kepalaku serasa berputar-putar. Terdengar suara beberapa orang saling berteriak memberi perintah. Semua saling bertanya; tak ada yang menjawab. Beberapa orang tak hentinya berdzikir, ibu-ibu menangis. Aku masih terduduk di sana, tak bisa berpikir, tak bisa bicara. Kubiarkan saja orang-orang mengusap punggung dan kepalaku. Mereka mengatakan ini dan itu, tapi hanya bisa kutangkap samar-samar. Kepalaku terlalu penuh dan terus berputar. Jadi aku hanya diam.
Kemudian kulihat seorang pemuda berbicara dengan serius kepada Pak Dadun. Mimik dan gerak-gerik tetanggaku itu bertambah tegang. Pandangannya berpindah-pindah dari pemuda itu, kepadaku, ke gundukan tanah di atas rumahku, lalu kepada orang-orang yang juga tak kalah bingungnya. Ia menggaruk kepala sambil bicara kepada pemuda itu, kemudian mendekatiku dan berjongkok.
“Rizki, saya harus membawamu ke rumah Haji Idris,” ujarnya. Ia berusaha keras agar suaranya terdengar datar.
Aku tidak mengerti. Pada saat bersamaan kulihat orang-orang membawa cangkul dan sekop dan mulai menggali timbunan tanah di lokasi rumahku. Mereka sedang berusaha menyelamatkan Umi dan Fitri. Seperti halnya aku, mereka pun yakin ibu dan adikku masih bisa diselamatkan. Meski rumah telah roboh, batang-batang kayu melindungi mereka dari reruntuhan dan menyisakan ruang bagi mereka untuk tetap bernafas. Yang diperlukan sekarang adalah menggali tanah secepatnya dan mengeluarkan mereka dari sana. Saat Fitri diselamatkan dari reruntuhan dan tumpukan tanah, kemudian tersenyum memperlihatkan gigi ompong satunya, aku harus berada di sana. Menjadi orang pertama yang dia lihat. Aku tahu betul itulah yang dia inginkan.
Maka aku menggeleng. Aku harus menunggu sampai orang-orang menemukan ibu dan adikku.
Pak Dadun memegang kedua bahuku sambil menatap penuh iba. Inilah orang terdekat denganku setelah Abah, Umi, dan Fitri. Kami tidak punya hubungan kekerabatan dengannya, tapi kedekatan keluarganya dengan keluargaku seperti layaknya saudara. Bukan hanya sekali dua istrinya datang ke rumah membawa rantang berisi sayur atau lauk pauk. Terkadang pula jika mereka harus pergi berdua, ibukulah yang menjaga kedua anaknya yang masih kecil itu. Aku menatapnya dan kulihat matanya berkaca-kaca. Sekilas kuperhatikan jakunnya bergerak-gerak seakan berusaha menelan sesuatu. Suaranya bergetar ketika berkata, “Bapakmu ada di rumah Haji Idris. Dia jatuh dari pohon kelapa. Kamu harus segera ke sana.”
Sebenarnya ia bisa bicara berputar-putar untuk membujukku, namun itu akan memakan waktu. Jadi baginya lebih baik langsung ke jantung masalah agar aku tak banyak membantah. Aku sendiri tidak siap menerima berita yang bertubi-tubi begitu dan pasrah saja ketika pemuda yang tadi bicara dengan Pak Dadun membawaku ke rumah Haji Idris yang cukup jauh dari rumahku.
∞∞
Begitu gempa bumi reda tadi, Haji Idris berlari tergopoh-gopoh ke sawahnya yang tak jauh dari rumah untuk melihat keadaan ayahku. Ia sangat khawatir karena guncangan yang ia rasakan sangat besar dan ia tahu ayahku sedang menjalankan tugasnya memetik buah kelapa. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi begitu tidak dilihatnya sesosok pun manusia di sawahnya. Apalagi dari kejauhan dia melihat jejeran pohon kelapa penjaga sawah itu sudah tidak lengkap. Ia menemukan ayahku terkapar di dasar sungai yang dangkal. Kepalanya berdarah, tulang lengan dan tungkai kakinya patah. Ia menaiki bibir sungai dan berteriak memanggil dua orang lelaki yang saat itu tampak di kejauhan. Bertiga mereka membopong tubuh ayahku ke rumah Haji Idris.
Ayahku sempat siuman, tapi tidak sanggup berkata-kata. Seorang mantri yang tinggal tidak jauh dari sana dipanggil. Demi melihat pendarahan di kepala ayahku semakin parah dan luka di badan serta patah tulang di lengan dan kaki, ia tak bisa berbuat banyak dan menyarankan agar ayahku segera dibawa ke rumah sakit. Saat itulah aku datang diantar pemuda suruhan Haji Idris. Aku langsung menghambur untuk memeluk tubuh Abah. Tapi orang-orang menahanku sehingga aku hanya bisa memegang tangannya. Dalam keadaan muka penuh luka dan darah seperti itu hampir-hampir aku tidak mengenalinya. Namun aku akrab betul dengan bau keringatnya dan sentuhan telapak tangannya. Tangan itulah yang mengusap kepalaku tiap hari, yang kutempel di kening setiap hendak berangkat sekolah. Sepasang tangan kurus yang kasar penuh goresan hasil bergelut bertahun-tahun dengan lumpur sumur dan batang kelapa. Kulitnya gelap karena terjerang sinar matahari.
Abah sempat memandangku lewat sudut matanya. Ia berusaha menyunggingkan senyum padaku, sebuah senyum yang aku yakin paling sulit seumur hidupnya. Sepanjang kuingat, ia jarang sekali tertawa. Tersenyum adalah ekspresi paling nyata manakala ia menemukan sesuatu yang menyenangkan. Mataku berkaca-kaca melihatnya tersenyum. Ketika aku membalas senyumnya, kulihat bola matanya membelalak dan bergerak ke arah keningnya, kemudian kurasakan gerak di jarinya menghilang. Abah menghembuskan nafas terakhirnya sore itu, di rumah Haji Idris, dengan tangan dalam genggamanku.
Kemudian semuanya berputar sangat cepat. Seseorang datang terengah-engah ke rumah itu mengabarkan bahwa Umi dan Fitri ditemukan sudah tidak bernyawa. Para penggali mendapati Umi tengah memeluk Fitri di dekat pintu depan. Diperkirakan mereka sedang berusaha menyelamatkan diri keluar dari rumah tapi takdir menghentikan mereka di sana. Sebelum mereka berhasil memutar palang kayu pengunci pintu, rumah keburu ambruk dan bongkahan tanah memerangkap mereka di bawahnya.
Aku kehilangan adikku dan menjadi yatim piatu dalam satu hari.
∞∞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool