Di kampungku di
daerah Gegerbitung, Sukabumi, jika penduduk memerlukan tenaga berpengalaman
untuk memetik kelapa, mereka tahu siapa yang harus dipanggil. Mereka
menyebutnya Kang Badru, orang yang terkenal paling lihay dalam perkara
petik-memetik buah kelapa. Perawakannya kecil tapi otot-otonya kuat dan liat,
gerak-geriknya ligat. Siapa pun yang menyerahkan pekerjaan padanya bisa duduk
dengan nyaman dan tersenyum lebar mendapat hasil yang memuaskan.
Hampir setiap
hari permintaan memetik itu datang dari
mana-mana, mulai dari tetangga dekat sampai kampung sebelah. Dari orang yang
hanya punya satu-satunya pohon kelapa di halaman sampai orang yang memang
berkebun kelapa berpetak-petak. Sekali dua ada juga order untuk menebang pohon,
entah karena sudah malas berbuah, pohonnya mati tersambar petir, atau karena si
empunya memerlukan batangnya untuk digunakan sebagai jembatan atau tiang rumah.
Dia
bisa melaksanakan tugas penebangan agar batang bisa seutuh mungkin tiba di
tanah dan dengan korban—biasanya berupa tanaman di sekitarnya—yang sangat kecil. Dengan reputasi tak diragukan selama
belasan tahun karirnya memanjat pohon kelapa, ia dijuluki sebagai orang yang
berpengalaman tinggi. Setinggi pohon kelapa.
Satu-satunya saat dia
tidak menerima pesanan memetik kelapa adalah ketika sedang menggali
sumur, profesinya yang kedua. Pembuatan sumur tidak bisa
diserahkan kepada sembarang orang. Salah-salah pemberi kerja akan mendapati
tanahnya bolong-bolong karena penggali tak kunjung mendapatkan titik yang
tepat. Sang pakar penggali sumur dengan insting dan pengalamannya bisa
mengindera di mana titik penggalian harus dilakukan agar sumur yang dibuat
tidak terlalu dalam dan air yang dikeluarkannya jernih. Tak jarang pemilik
harus menata ulang ruang-ruang di rumahnya karena titik terbaik untuk
penggalian sumur berada di lokasi yang semula direncanakan untuk keperluan
lain. Di daerah di mana sumur menjadi
satu-satunya sumber air bersih, orang rela membayar lebih untuk memiliki sebuah
sumur.
Dengan
keahliannya memilih titik yang tepat dan melakukan penggalian sumur ini, ia pun
mendapat julukan sebagai orang yang ilmunya dalam, sedalam sumur.
Tanggal 7 Agustus 1988 di satu titik dalam perut bumi, Allah menakdirkan lapisan
kerak bergeser beberapa sentimeter. Puluhan kilometer di atasnya, bumi
Gegerbitung berguncang hebat. Kehidupan sehari-hari di wilayah ini biasanya tenang, bahkan cenderung
sunyi. Suara motor lewat pun akan
membuat penduduk menoleh ke
jalan. Guncangan akibat gempa hari itu menimbulkan kehebohan besar. Peristiwa itu tercatat dalam sejarah sebagai salah satu gempa terbesar
di Sukabumi. Getarannya terdeteksi sampai radius lebih dari seratus kilometer. Akibat gempa itu banyak rumah
hancur dan tanah longsor di beberapa lokasi.
Detik
ketika peristiwa itu terjadi, tokoh kita yang berpengalaman tinggi dan
berpengetahuan dalam ini sedang bergelantung di atas pohon kelapa milik Haji
Idris. Orang yang disebut terakhir ini memiliki sebidang sawah yang berbatasan
dengan sungai. Di pinggir sungai itulah dia menanam selusin pohon kelapa yang
berfungsi menahan tanah agar tidak tergerus aliran sungai. Kedua belas pohon
kelapa itu berjejer laksana barisan penjaga. Sang pemetik kelapa sudah
menggarap lima pohon—puluhan buah kelapa menumpuk di atas tanah menyerupai
piramid—dan baru sampai di puncak pohon keenam. Ia sedang dengan tangkas
memutar buah kelapa agar tangkainya putus dari manggar ketika tiba-tiba pohon
yang dinaikinya bergoyang cepat. Seketika ia mafhum bukan angin yang
menyebabkan goyangan itu. Kejadian ini bukanlah pengalaman pertama baginya.
Beberapa tahun silam ia juga sedang berada di atas pohon kelapa ketika terjadi
gempa bumi. Saat itu dengan sigap dia memeluk erat batang pohon hingga goyangan
mereda. Yang mengagumkan sekaligus mengherankan, menurut ceritanya sendiri,
setelah gempa berhenti ia bukannya turun menenangkan atau menyelamatkan diri
melainkan terus melanjutkan pekerjaannya. Tak
ayal peristiwa itu menjadi buah bibir orang sekampung. Setelah
beberapa tahun berselang kisah itu sesekali masih terdengar dalam obrolan di pos ronda
atau warung kopi. Pemanjat kelapa itu nyaris menjadi legenda kampung.
Sebagai
orang yang pengalamannya tinggi dan ilmunya dalam, kali ini pun dia tahu apa
yang harus dilakukan: memeluk batang kelapa erat-erat seperti bunglon memeluk
tangkai pohon. Yang dia tidak tahu adalah bahwa gempa
kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Rentang ayunan pohon kelapa lebih jauh
dan goyangannya lebih keras, mirip kembang goyang di sanggul pengantin. Ketika
detik-detik menegangkan itu hampir berlalu dan batang kelapa menuju titik
keseimbangan, ia menyangka nasib baik kembali berpihak padanya. Tapi kemudian
pelahan-lahan pohon itu condong ke satu sisi, ke arah sungai. Kemiringannya
semakin lama semakin tajam.
Gempa telah mengakibatkan retakan di tanah dan karena pohon itu berada di
tebing pinggir sungai, akar serabut yang biasanya mencengkeram tidak sanggup
lagi menopang batang yang berat. Saat ujung pohon akhirnya berdebum keras di tepi seberang sungai,
sang pemetik kelapa paling berpengalaman itu tak kuasa mempertahankan
pelukannya dan terpental ke dasar sungai dangkal yang dipenuhi bebatuan.
Seketika ia jatuh pingsan.
∞∞
Pak
Dadun tetangga dekat kami mendapatiku sedang mencakar tanah sambil
berteriak-teriak kesetanan. Ia bergegas ke arahku dan berusaha memelukku dari
belakang. Untuk beberapa saat aku meronta dan terus menggali. Tapi tenagaku
kalah kuat. Akhirnya aku terkulai lemas dan pasrah ketika dia mengangkat dan membopongku menuju rumahnya. Selama
hampir setengah jam aku menggali tanah dengan kedua tanganku, tak kurasakan
sedikit pun sakit di ujung-ujung jariku. Tak setetes pun air mata jatuh. Tapi begitu berada di bopongan tetanggaku
ini aku merasakan pipiku basah dan hangat; dadaku berguncang-guncang menahan suara
tangis. Kuku-kuku tanganku terasa sakit dan panas.
Bangunan rumah Pak Dadun masih terlihat
sosoknya, hanya dapur di bagian belakang yang tertutup gundukan tanah. Aku
dibawa ke halaman rumahnya dan didudukkan di rerumputan. Di sana juga tengah
duduk istrinya yang berulang-ulang mengucapkan istigfar sambil memeluk kedua
anak mereka yang masih kecil dan tak hentinya menangis. Rupanya keluarga ini
tidak sedang berada di rumah ketika gempa yang disusul longsor itu terjadi.
Mereka baru saja pulang.
Selang
beberapa menit ramai orang berdatangan ke rumah Pak Dadun. Suasana berubah hiruk-pikuk membuat kepalaku serasa
berputar-putar. Terdengar suara beberapa orang saling berteriak memberi
perintah. Semua saling bertanya; tak ada yang menjawab. Beberapa orang tak
hentinya berdzikir, ibu-ibu menangis. Aku masih terduduk di sana, tak bisa
berpikir, tak bisa bicara. Kubiarkan saja orang-orang mengusap punggung dan
kepalaku. Mereka mengatakan ini dan itu, tapi hanya bisa kutangkap samar-samar.
Kepalaku terlalu penuh dan terus berputar. Jadi aku hanya diam.
Kemudian
kulihat seorang pemuda berbicara dengan serius kepada Pak Dadun. Mimik dan
gerak-gerik tetanggaku itu bertambah tegang. Pandangannya berpindah-pindah dari
pemuda itu, kepadaku, ke gundukan tanah di atas rumahku, lalu kepada orang-orang yang juga tak kalah bingungnya. Ia
menggaruk kepala sambil bicara kepada pemuda itu, kemudian mendekatiku dan
berjongkok.
“Rizki,
saya harus membawamu ke rumah Haji Idris,” ujarnya. Ia berusaha keras agar
suaranya terdengar datar.
Aku
tidak mengerti. Pada saat bersamaan kulihat orang-orang membawa cangkul dan
sekop dan mulai menggali timbunan tanah di lokasi rumahku. Mereka sedang
berusaha menyelamatkan Umi dan Fitri. Seperti halnya aku, mereka pun yakin ibu
dan adikku masih bisa diselamatkan. Meski rumah telah roboh, batang-batang kayu
melindungi mereka dari reruntuhan dan menyisakan ruang bagi mereka untuk tetap
bernafas. Yang diperlukan sekarang adalah menggali tanah secepatnya dan
mengeluarkan mereka dari sana. Saat Fitri diselamatkan dari reruntuhan dan tumpukan tanah, kemudian tersenyum
memperlihatkan gigi ompong satunya, aku harus berada di sana. Menjadi orang
pertama yang dia lihat. Aku tahu betul itulah yang dia inginkan.
Maka
aku menggeleng. Aku harus menunggu sampai orang-orang menemukan ibu dan adikku.
Pak
Dadun memegang kedua bahuku sambil menatap penuh iba. Inilah orang terdekat
denganku setelah Abah, Umi, dan Fitri. Kami tidak punya hubungan kekerabatan
dengannya, tapi kedekatan keluarganya dengan keluargaku seperti layaknya
saudara. Bukan hanya sekali dua istrinya datang ke rumah membawa rantang berisi
sayur atau lauk pauk. Terkadang pula jika mereka harus pergi berdua, ibukulah
yang menjaga kedua anaknya yang masih kecil itu. Aku menatapnya dan kulihat
matanya berkaca-kaca. Sekilas kuperhatikan jakunnya bergerak-gerak seakan
berusaha menelan sesuatu. Suaranya bergetar ketika berkata, “Bapakmu ada di
rumah Haji Idris. Dia jatuh dari pohon kelapa. Kamu harus segera ke sana.”
Sebenarnya
ia bisa bicara berputar-putar untuk membujukku, namun itu akan memakan waktu.
Jadi baginya lebih baik langsung ke jantung masalah agar aku tak banyak
membantah. Aku sendiri tidak siap menerima berita yang bertubi-tubi begitu dan
pasrah saja ketika pemuda yang tadi bicara dengan Pak Dadun membawaku ke rumah
Haji Idris yang cukup jauh dari rumahku.
∞∞
Begitu
gempa bumi reda tadi, Haji Idris berlari tergopoh-gopoh ke sawahnya yang tak
jauh dari rumah untuk melihat keadaan ayahku. Ia sangat khawatir karena
guncangan yang ia rasakan sangat besar dan ia tahu ayahku sedang menjalankan
tugasnya memetik buah kelapa. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi begitu tidak
dilihatnya sesosok pun
manusia di sawahnya. Apalagi dari kejauhan dia melihat jejeran pohon kelapa
penjaga sawah itu sudah tidak lengkap. Ia menemukan ayahku terkapar di dasar
sungai yang dangkal. Kepalanya berdarah, tulang lengan dan tungkai kakinya
patah. Ia menaiki bibir sungai dan berteriak memanggil dua orang lelaki yang
saat itu tampak di kejauhan. Bertiga mereka membopong tubuh ayahku ke rumah
Haji Idris.
Ayahku
sempat siuman, tapi tidak sanggup berkata-kata. Seorang mantri yang tinggal
tidak jauh dari sana dipanggil. Demi melihat pendarahan di kepala ayahku
semakin parah dan luka di badan serta patah tulang di lengan dan kaki, ia tak
bisa berbuat banyak dan menyarankan agar ayahku segera dibawa ke rumah sakit.
Saat itulah aku datang diantar pemuda suruhan Haji Idris. Aku langsung
menghambur untuk memeluk tubuh Abah. Tapi orang-orang menahanku sehingga aku
hanya bisa memegang tangannya. Dalam keadaan muka penuh luka dan darah seperti
itu hampir-hampir aku tidak mengenalinya. Namun aku akrab betul dengan bau
keringatnya dan sentuhan telapak tangannya. Tangan itulah yang mengusap
kepalaku tiap hari, yang kutempel di kening setiap hendak berangkat sekolah.
Sepasang tangan kurus yang kasar penuh goresan hasil bergelut bertahun-tahun
dengan lumpur sumur dan batang kelapa. Kulitnya gelap karena terjerang sinar
matahari.
Abah
sempat memandangku lewat
sudut matanya. Ia berusaha menyunggingkan senyum padaku, sebuah senyum yang aku
yakin paling sulit seumur hidupnya. Sepanjang kuingat, ia jarang sekali
tertawa. Tersenyum adalah ekspresi paling nyata manakala ia menemukan sesuatu
yang menyenangkan. Mataku berkaca-kaca melihatnya tersenyum. Ketika aku
membalas senyumnya, kulihat bola matanya membelalak dan bergerak ke arah
keningnya, kemudian kurasakan gerak di jarinya menghilang. Abah menghembuskan
nafas terakhirnya sore itu, di rumah Haji Idris, dengan tangan dalam
genggamanku.
Kemudian
semuanya berputar sangat cepat. Seseorang datang terengah-engah ke rumah itu
mengabarkan bahwa Umi dan Fitri ditemukan sudah tidak bernyawa. Para penggali
mendapati Umi tengah memeluk Fitri di dekat pintu depan. Diperkirakan mereka
sedang berusaha menyelamatkan diri keluar dari rumah tapi takdir menghentikan
mereka di sana. Sebelum mereka berhasil memutar palang kayu pengunci pintu,
rumah keburu ambruk dan bongkahan tanah memerangkap mereka di bawahnya.
Aku
kehilangan adikku dan menjadi yatim piatu dalam satu hari.
∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar